Rain, he wanted it comfortable I wanted that pain.
—
Gauri sudah mengumpat ribuan kali kala motor beat street nya mendarat di parkiran sekolah milik adiknya.
Dia berulang kali menyumpah serapahi sekolah swasta ini, yang bagaimana bisa mereka memilih tempat untuk dijadikan ladang ilmu bagi adiknya justru terasa seperti kerja paksa.
Memangnya sekolah tidak survive terlebih dahulu? Memang pihak sekolah tidak pernah menanyakan kondisi anak didiknya?
Dia yang sudah kepalang marah akan berita buruk itu seakan sirna oleh fakta yang adiknya jelaskan.
Saat ia buka pintu dengan gantungan bertulis ruangan konseling, di dalamnya sudah ada lima anak beserta orang tuanya. Adiknya tengah menunduk, Gauri menghela nafasnya lalu tangannya bergerak untuk memberi salam hormat pada dua guru yang tadi menyambutnya.
“Saya Jagad, kakaknya Alam.”
“Baik Mas Jagad, silahkan duduk.”
Gauri mengambil tempat, duduk tepat di samping guru muda dengan tinggi hampir 188'cm.
Seketika suasana menjadi lebih tegang kala satu persatu dari mereka menjelaskan sesuatu yang menjadi alasan mereka.
Dan, Alam tidak berbohong.
“Kenapa kalian tidak jujur saja?” Itu guru yang sedikit tua.
Salah satu dari mereka tampak berdecak malas, “Bapak bilang kan bengkel itu satu satunya yang kesisa, kalo saya sama yang lain bilang, kita harus nunggu berapa lama lagi buat dapet tempat baru?”
Wah, semua pikiran anak muda benar-benar sama.
Sama-sama bodoh.
Guru muda itu menanggapi dengan senyuman, tampak mengerti apa yang anak muridnya rasakan.
“Terus kalian lebih milih nongkrong, nyebat, di luar ketimbang nunggu sebentar buat dapet tempat yang layak?”
Ah, Gauri salah pikir. Rupanya Guru muda itu sedikit galak dan sarkas.
“Wong timbang disuruh nunggu doang, bisa gitu loh kalian gak mau.”
“Lamanya juga gak akan seberapa nyiksanya kalian nyari ilmu disana, kan?”
Guru muda itu menatap anak muridnya secara bergantian.
“Bapak juga minta maaf kalo kurang teliti buat survive tempat PKL kalian. Memang benar cuma itu yang tersisa di daerah sini, tapi kalo emang harus cari yang lain kenapa nggak toh?”
“Pihak sekolah juga gak bakal diem aja Nak. Kita usahain, demi kalian belajar dan nyari ilmu yang banyak dengan layak.”
“Ngerti?”
Kelima anak itu tampak menunduk, bahkan sedari tadi Alam tidak berani menatap Gauri.
Tapi, tatapan Gauri sudah terfokus dengan tampang asing yang tak jauh darinya.
Lelaki dengan nama Gusti, (Gauri berhasil baca sekilas pin name yang tersangkut di kain batik lelaki itu) dan sialnya dia tidak mendapati siapa nama lengkapnya.