hanavvao

#MidnightRain ; II

— Gauri bukan morning person. Dari dulu jika tidak ada yang membangunkannya untuk menunaikan kewajiban sebagai siswa, maka Gauri akan memilih untuk bolos kelas, karena matanya yang baru terbuka pada pukul delapan pagi.

Namun kali ini alarm ponselnya mampu menganggu tidur seorang Gauri. Bahkan matanya sudah terbuka sepenuhnya, tidak seperti biasanya Gauri kini beranjak dari kasurnya. Berjalan gontai ke kamar mandi, membilas muka, gosok gigi.

“Yeu, ngentot abis nih odol.” Gerutunya, baiklah ia akan mencuci mulutnya saja.

Hampir selesai, Gauri sempatkan merapikan surainya.

Ini sudah hampir pukul delapan pagi dimana Seno, alias dosen — atau kekasihnya akan mengunjungi kosnya. Ah sedikit cerita tentang bagaimana semua hubungan ini berjalan dan itu bukan Gauri yang memulai.

Hubungan gelap mereka sudah hampir berjalan satu tahun, dan Seno lah yang memulai semuanya. Gauri yang kala itu hanya mahasiswa kupu-kupu pun mulai mengetahui betapa jeleknya modus dari si Dosen.

Seno kerap kali mengirimkan pesan dengan niat menggoda dirinya, bahkan pria tua itu tidak sungkan untuk mengajaknya makan siang. Jika kalian pikir Gaur menolak, maka itu salah, Gauri bahkan menanggapinya dengan sangat lantang. Entah mengapa pikirannya merasa tertantang akan situasi yang terjadi kedepannya.

Lagi pula, menjadi simpanan seorang Dosen sudah sangat lumrah di kehidupan sekarang bukan?

Ketukan pada pintu kamarnya berhasil membawa Gauri untuk membuka pintunya.

“Lama!” Seno tersenyum gemas lalu mencubit pipi gembul Gauri.

“Nyari sarapan dulu sayang, baru bangun ya? Kebo dasar.”

“Siapa suruh dateng pagi-pagi, Om tau sendiri aku orangnya paling anti bangun pagi-pagi.”

“Iya-iya, maafin ya say–”

“Mas Seno?”

Sialan. Kata itu terus muncul di dalam hati seorang Seno. “Gusti?”

“Kamu tinggal disini toh Ti?” Gauri heran, mengapa guru konseling yang sempat menarik perhatiannya tiba-tiba disini?

Lalu? Seno dan Gusti saling mengenal? Wah.

“Haha iya Mas, pindah kemarin. Mas ngapain kesini dan… Lho? Ini Kakaknya Alam ya?” Senyum formal Gauri berikan dan mengangguk kecil.

Tunggu, mari kita dengarkan alasan apa yang akan Seno keluarkan untuk menjawab pertanyaan Gusti ini.

“Ini Jagad asisten Mas di kampus.” Emang udah beda level Seno ini.

Sementara Gauri hanya mengangguk kecil, ah ia juga perlu berakting sekarang.

“Oh ya Gad, ini Gusti adik ipar saya.”

Terkejut? Tentu. Tapi, semuanya lagi-lagi mudah dialihkan hanya dengan sebuah senyuman kecil seorang Gusti. Gusti, Gusti Pamungkas.

His smile is sweet, his personality perhaps a bit humorous? But still, that strong jawline hints that he also has a serious side and is very firm in his convictions. It takes hard work to get even a little way into his life. Dan, Gauri mungkin akan berusaha keras untuk itu.

Everything is better with you.

Ternyata kali ini hanya butuh tiga hari untuk membuat Jerico sadar, walaupun Kiel yakin ini hanya akan bertahan setidaknya satu minggu kedepan.

Sembari menunggu kedatangan suaminya, Kiel kembali menjelajahi seisi kamar Jerico itu.

Dan ketika ia hendak membuka sebuah laci, telingannya mendengar pintu yang terbuka.

Enggan berbalik untuk menatap siapa yang disana. Tapi ketika pintu itu tertutup lalu suara kunci yang berputar yang menandakan bahwa Jerico benar-benar akan menjemputnya pulang.

“Lama amat, puter balik lagi ya?” Ucapnya, lalu Kiel mengambil sebuah notebook kecil dari laci tersebut.

Langkah kaki mendekat, Kiel semakin memfokuskan matanya untuk membaca tulisan tangan di atas buku itu.

“Lagi ngapain?” Tanya Jerico, lalu ikut duduk di belakang Kiel.

“Baca tulisan ceker ayam lu.” Masih dengan buku ditangannya, Kiel bahkan enggan memutar badannya saat tangan Jerico mulai melingkar pada perut ratanya, yang disusul dengan hembusan pada ceruk lehernya saat kepala Jerico beristirahat pada pundak lebarnya.

“Kangen, belakangan ini aku tidur di rs tau.”

“Gak nanya.”

“Soalnya kalo di rumah percuma, gak ada kamu.”

“Alah emang akal-akalan lu aja biar bisa tidur bareng nak– ah! Sakit bego!”

Jerico menggigit lehernya.

“Siapa suruh ngaco.”

Kiel tidak menjawab lagi, dia memilih untuk membaca setiap lembar pada notebook itu. Dan percayalah, setiap lembar itu bergulir senyuman kecil tidak pernah terlepas.

'I will never forget the moment i realized, i loved you, Ezekiel Dwi Pangestu.' kalimat pendek yang diakhiri dengan nama panjangnya.

Jerico yang tengah memeluknya di belakang juga ikut penasaran lalu tidak ada dua detik ia menyadari apa yang tengah Kiel baca sedaritadi.

Sesegera mungkin ia merebutnya.

“Dih! Siniin! Gue belum selesai baca Jerico.” Kiel akhirnya menoleh dan tangannya berusaha menggapai notebook itu dari tangan Jerico yang menjulang tinggi.

“Gak boleh.” Jerico berdiri saat Kiel mulai bergerak lebih gencar.

“Jerico siniin gue belum selesai baca ah!”

Akibatnya mereka seperti tikus dan kucing.

Dan salahkan Jerico yang menghindar terlalu lincah membuat Kiel tak bisa menghindari sebuah kecelakaan kecil saat kepalanya terjedot pada lantai kamar ini.

“JERICO SAKITTTTT!”

Jerico panik, lalu ia mengangkat tubuh yang sedikit mungil itu untuk dibawa ke atas kasurnya.

“Kan, aku udah bil–”

“Jerico mau nyalahin Kiel? Kiel kan cuma mau baca buku itu sampe selesai? Emang salah? Kenapa gak bolehin Kiel baca? Oh disitu ada mantan Jerico juga, makanya Kiel gak boleh baca sampe akhir?”

“Nggak ah ngaco, sini mana yang sakit.”

“Disini!” Jawabnya ketus sembari menaruh jari telunjuknya pada dada bagian kiri.

“Hati Kiel sakit! Ditinggal terus di rumah sendirian udah berasa gak punya suami tau gak!”

“Hati bukan disitu.” Tangan Jerico bergerak membenarkan jari telunjuk Kiel.

“Gak usah pegang-pegang!” Kiel menepis tangan Jerico.

Jerico tertawa gemas, “Beneran gak ada yang sakit? Sini Jerico obatin.”

“Jerico sumber sakitnya.”

“Iya maafin ya, tapi ini serius ada yang sakit nggak sayang?”

Kiel diam menatap lekat suaminya, hubungan mereka kini berjalan satu tahun lebih, dan rasanya masih sulit sekali untuk menerima sisi Jerico yang selalu saja menduakan dirinya jika sudah menyangkut pada pekerjaan Jerico.

Jika kalian tidak lupa, Kiel adalah orang yang paling membenci kesepian. Dia tidak suka sepi, sunyi, sendiri. Hari-harinya selalu ia habiskan untuk bermain atau bahkan sekedar kencan buta dengan siapapun yang membuatnya nyaman.

Namun itu dulu, jauh sebelum dirinya dinyatakan akan menikah dengan Jerico.

“Kali ini beneran mau wujudin keinginan Kiel kan?” Jerico mengangguk, merentangkan kedua tangannya. Kiel masuk kedalam dekapannya.

Lalu setelahnya ia bawa tubuh kecil itu untuk berbaring, Kiel segera mencari posisi yang nyaman.

“Lembar pertama, 'meeting you was the best part of my life. Kiyel'—” Ucap Kiel membuat kekehan kecil muncul dari suaminya.

“Lembar kedua, 'I love you more than you know Kiyel'.” Jerico melanjutkannya.

“Kamu inget?”

“Inget, bahkan lembar terakhir.”

“Apa emang?”

'Kiyel, thank you for making me feel loved'

AnginLaska

Ribuan langkah yang kian menjauh, kini akan kembali pada titik yang sama. Titik yang selama ini menjadi sebuah penantian atas dua rindu yang selalu redup dihempas ego dan waktu.

Angin dan harinya selalu dihantui akan pertanyaan,

Memang mau seberapa lama lagi?

Memang mau seberapa jauh lagi?

Langkahnya kian cepat saat matanya menangkap tempat yang selalu menjadi pulangnya.

“Lama banget Ka.”

Lama, lama sekali bagi Angin.

Laska tersenyum hangat, ah senyuman yang selalu Angin rindukan.

Perlahan Laska menarik nafasnya, “Kata Dewa, kalo aja aku punya orang lain sebelum kamu mungkin yang bakal bertahan tiga bulan lamanya cuma kamu. Sisanya satu bulan aja udah angkat tangan.”

“Aku sakit hati dengernya. Apa aku sekurang itu– tapi bener juga, mau dipaksa gimanamu manusia gak pernah sempurna, ya?”

Angin menggeleng kencang.

“Tapi, setelah itu aku sadar gimana buruknya aku. Gimana besarnya kepala aku. Mungkin– aku beruntung karena aku punya kamu.” Laska berbisik, suaranya lembut namun sedikit bergetar.

“Usaha kamu yang selalu ada buat aku, usaha kamu yang selalu ngalah buat aku.”

“Kamu berusaha sebaik mungkin buat aku, dan aku yang bodohnya gak pernah liat usaha itu. Aku yang selalu sepelein kamu dengan hal-hal kecil yang ternyata kamu usahainnya setengah mati.”

Kisah remaja mereka mungkin romantis penuh cinta, tapi siapa yang tau jika akan ada masanya mereka menghadapi ego yang begitu tinggi?

“Aku gak pernah sadar kalo nantinya mungkin ada waktunya kamu capek sama aku, lagi-lagi yang aku pikirin cuma kamu yang harus sesuai apa yang aku mau.”

“Tanpa peduli gimana susahnya. Empat bulan Ngin, aku mikirin kenapa bisa kamu masih bertahan sejauh ini sama aku?”

“Aku selalu mikir, definisi cinta menurut kamu itu apa sih? Kenapa kamu selalu di sini buat aku?”

“Ka.”

“Ngin, aku sayang banget sama kamu. Maafin aku. Aku janj—” Ucapannya terpotong kala tubuhnya didekap hangat.

“Aku gak pernah paham cinta itu apa, dan gimana rasanya patah hati. Kamu bisa liat gimana bodohnya aku soal ginian.”

“Sampe ada waktunya aku ngerasa kayak ada sesuatu yang hilang, kayak ada ruang kosong yang nggak bisa diisi dengan apa pun. Sesakit ini ternyata patah hati Ka.”

Laska meremat punggung Angin. Entah sejak kapan air matanya turun membasahi kaos Angin.

“Jangan jauh-jauh lagi ya Ka?”

“Aku terima kamu ambil langkah ini. Tapi, kalo harus lagi aku gak akan bisa.”

“Maafin aku, maafin aku Angin.”

Angin melepas pelukannya. Menatap Laska yang masih terisak dengan wajah basahnya.

“Cantik, cantik banget sayang.” Laska terkekeh, sudah lama sekali tubuh keduanya tidak sedekat ini?

“Aku sayang sama kamu Angin. Sayang banget.”

Angin tersenyum, jemari besarnya perlahan mengusap lembut wajah cantik itu.

“Can i kiss you?”

Laska diam tak menjawab, namun kakinya sedikit berjinjit guna menggapai ranum Angin, “Kangen.” Ucapnya setelah selesai memberi kecupan singkat.

Keduanya tersenyum, Angin menarik dagu kecil itu untuk ia pautkan bibirnya, melumat pelan. Ciuman itu tampak mulus dan lembut, bibir Angin benar-benar menjamah dengan baik, mempermainkan ranumnya dengan sangat penuh cinta.

Ini adalah ciuman yang paling Laska dambakan.

“Sayang kamu.” Ucap Angin lalu membawa tubuh Laska ke dalam dekapnya untuk waktu yang lebih lama lagi.

“Sayang Angin juga.”

Dan, mereka adalah dua jiwa kecil yang akhirnya menyadari bahwa cinta tak selalu sempurna. Cinta yang sebenarnya tentang bertahan, memaafkan dan tumbuh bersama.

KEKAL

Ribuan langkah yang kian menjauh, kini akan kembali pada titik yang sama. Titik yang selama ini menjadi sebuah penantian atas dua rindu yang selalu redup dihempas ego dan waktu.

Angin dan harinya selalu dihantui akan pertanyaan,

Memang mau seberapa lama lagi?

Memang mau seberapa jauh lagi?

Langkahnya kian cepat saat matanya menangkap tempat yang selalu menjadi pulangnya.

“Lama banget Ka.”

Lama, lama sekali bagi Angin.

Laska tersenyum hangat, ah senyuman yang selalu Angin rindukan.

“Kata Dewa, kalo aja aku punya orang lain sebelum kamu mungkin yang bakal bertahan tiga bulan lamanya cuma kamu. Sisanya satu bulan aja udah angkat tangan.”

“Aku sakit hati dengernya. Apa aku sekurang itu– tapi bener juga, mau dipaksa gimanamu manusia gak pernah sempurna, ya?”

Angin menggeleng kencang.

“Tapi, setelah itu aku sadar gimana buruknya aku. Gimana besarnya kepala aku. Mungkin– aku beruntung karena aku punya kamu.” Laska berbisik, suaranya lembut namun sedikit bergetar.

“Usaha kamu yang selalu ada buat aku, usaha kamu yang selalu ngalah buat aku.”

“Kamu berusaha sebaik mungkin buat aku, dan aku yang bodohnya gak pernah liat usaha itu. Aku yang selalu sepelein kamu dengan hal-hal kecil yang ternyata kamu usahainnya setengah mati.”

Kisah remaja mereka mungkin romantis penuh cinta, tapi siapa yang tau jika akan ada masanya mereka menghadapi ego yang begitu tinggi?

“Aku gak pernah sadar kalo nantinya mungkin ada waktunya kamu capek sama aku, lagi-lagi yang aku pikirin cuma kamu yang harus sesuai apa yang aku mau.”

“Tanpa peduli gimana susahnya. Empat bulan Ngin, aku mikirin kenapa bisa kamu masih bertahan sejauh ini sama aku?”

“Aku selalu mikir, definisi cinta menurut kamu itu apa sih? Kenapa kamu selalu di sini buat aku?”

“Ka.”

“Ngin, aku sayang banget sama kamu. Maafin aku. Aku janj—” Ucapannya terpotong kala tubuhnya didekap hangat.

“Aku gak pernah paham cinta itu apa, dan gimana rasanya patah hati. Kamu bisa liat gimana bodohnya aku soal ginian.”

“Sampe ada waktunya aku ngerasa kayak ada sesuatu yang hilang, kayak ada ruang kosong yang nggak bisa diisi dengan apa pun. Sesakit ini ternyata patah hati Ka.”

Laska meremat punggung Angin. Entah sejak kapan air matanya turun membasahi kaos Angin.

“Jangan jauh-jauh lagi ya Ka?”

“Udah cukup, aku seneng kamu berani ambil langkah ini. Tapi, kalo harus lagi aku gak akan bisa.”

Mereka adalah dua jiwa kecil yang akhirnya menyadari bahwa cinta tak selalu sempurna. Cinta yang sebenarnya tentang bertahan, memaafkan dan tumbuh bersama.

Rain, he wanted it comfortable I wanted that pain.

Gauri sudah mengumpat ribuan kali kala motor beat street nya mendarat di parkiran sekolah milik adiknya.

Dia berulang kali menyumpah serapahi sekolah swasta ini, yang bagaimana bisa mereka memilih tempat untuk dijadikan ladang ilmu bagi adiknya justru terasa seperti kerja paksa.

Memangnya sekolah tidak survive terlebih dahulu? Memang pihak sekolah tidak pernah menanyakan kondisi anak didiknya?

Dia yang sudah kepalang marah akan berita buruk itu seakan sirna oleh fakta yang adiknya jelaskan.

Saat ia buka pintu dengan gantungan bertulis ruangan konseling, di dalamnya sudah ada lima anak beserta orang tuanya. Adiknya tengah menunduk, Gauri menghela nafasnya lalu tangannya bergerak untuk memberi salam hormat pada dua guru yang tadi menyambutnya.

“Saya Jagad, kakaknya Alam.”

“Baik Mas Jagad, silahkan duduk.”

Gauri mengambil tempat, duduk tepat di samping guru muda dengan tinggi hampir 188'cm.

Seketika suasana menjadi lebih tegang kala satu persatu dari mereka menjelaskan sesuatu yang menjadi alasan mereka.

Dan, Alam tidak berbohong.

“Kenapa kalian tidak jujur saja?” Itu guru yang sedikit tua.

Salah satu dari mereka tampak berdecak malas, “Bapak bilang kan bengkel itu satu satunya yang kesisa, kalo saya sama yang lain bilang, kita harus nunggu berapa lama lagi buat dapet tempat baru?”

Wah, semua pikiran anak muda benar-benar sama.

Sama-sama bodoh.

Guru muda itu menanggapi dengan senyuman, tampak mengerti apa yang anak muridnya rasakan.

“Terus kalian lebih milih nongkrong, nyebat, di luar ketimbang nunggu sebentar buat dapet tempat yang layak?”

Ah, Gauri salah pikir. Rupanya Guru muda itu sedikit galak dan sarkas.

“Wong timbang disuruh nunggu doang, bisa gitu loh kalian gak mau.”

“Lamanya juga gak akan seberapa nyiksanya kalian nyari ilmu disana, kan?”

Guru muda itu menatap anak muridnya secara bergantian.

“Bapak juga minta maaf kalo kurang teliti buat survive tempat PKL kalian. Memang benar cuma itu yang tersisa di daerah sini, tapi kalo emang harus cari yang lain kenapa nggak toh?”

“Pihak sekolah juga gak bakal diem aja Nak. Kita usahain, demi kalian belajar dan nyari ilmu yang banyak dengan layak.”

“Ngerti?”

Kelima anak itu tampak menunduk, bahkan sedari tadi Alam tidak berani menatap Gauri.

Tapi, tatapan Gauri sudah terfokus dengan tampang asing yang tak jauh darinya.

Lelaki dengan nama Gusti, (Gauri berhasil baca sekilas pin name yang tersangkut di kain batik lelaki itu) dan sialnya dia tidak mendapati siapa nama lengkapnya.

Jadi, selesai ya?

Laska jelas tau kemana arah pembicaraan mereka kali ini. Pandangannya jatuh pada pemuda yang sudah cukup lama mengosongi hari-harinya.

“Kangen Laska.”

Sama Angin. Tapi apa boleh buat? Jawaban itu hanya terucap dalam batinnya.

“Angin.”

Panggil Laska, pemuda itu tersenyum untuk menjawabnya.

Pada akhirnya Angin kembali mengalah. Pada akhirnya Angin yang akan datang padanya. Dan pada akhirnya Laskara sadar bahwa akar permasalahan mereka bukan ucapan sialan itu.

Mungkin akan cepat selesai jika Angin menjelaskannya, dan mungkin akan cepat selesai jika Laska tak menyepelekan Anginnya.

Laska sadar bahwa sikap Angin belakangan mungkin bentuk kecil perlawanan lelaki itu karena sudah terlalu lelah memberi kebebasan pada egonya.

Tapi sayang, sikap Angin tidak bisa melemahkan egonya sama sekali.

Angin mengeluarkan suaranya, menarik tangan Laska ke genggamannya.

Intinya tetap sama, Angin meminta maaf atas sikapnya, sorot matanya terlihat benar-benar tulus memohon.

“Aku sayang kamu Ka, sayang banget. Gak akan ada yang bisa gantiin kamu sekalipun kamu pergi tinggalin aku nantinya.”

Laska tau Angin tidak pernah berbohong atas rasa cintanya.

“Aku salah, aku yang salah. Maafin aku.” Ucap Angin di akhir kalimat.

Laska menunduk, dirinya benar-benar takut. Ia benar-benar takut jika harus merasakan waktu dimana Anginnya bisa pergi kapan saja atas sikapnya.

Angin dan dirinya perlu istirahat.

“Angin, lets take a break.”

Dan mungkin ini keputusan terbaik.

“Enggak Laska!”

“Maaf Angin.”

“Sayang, kamu gak salah aku yang salah. Aku salah karena ngomong begitu ke Sabitha aku yang salah, kamu gak perlu minta maaf, maafin aku. Ka aku gak bisa.”

Angin kalang kabut, bahkan kini ia sudah bersimpuh memohon agar Laska menarik ucapannya.

Jemarinya menggapai wajah Angin, “I love you Angin. Dan mungkin sangking cintanya aku, aku sampe gak bisa kontrol ekspetasi aku ke kamu.”

Angin menggeleng, bibirnya bergetar.

“Aku sama kamu perlu istirahat buat semuanya, nanti kita balik lagi kalo sama-sama udah lebih baik ya?”

“Enggak Ka, nggak.”

“Angin, aku jauh lebih takut kalo suatu saat nanti kita sama-sama sakit karna hal yang lagi-lagi keulang.”

“Kita perlu perbaikin ini untuk kedepannya, percaya aku. Aku sayang banget sama kamu, karena itu aku m–”

“Angin jangan nangis.”

“Angin ini sementara aja, Angin jangan nangis.”

Angin bertahan di posisinya, semakin tenggelam pada paha Laska menumpahkan tangisnya, kepalanya terus menggeleng kecil. Harap-harap Laska mengerti tolakannya.

Namun, Laska terlanjur membulatkan keputusannya untuk mengambil istirahat sejenak, meskipun dari kemarin mereka memang sudah cukup menjaga jarak akan tetapi Laska rasa ini belum sepenuhnya baik.

Dewa benar sikap egois Angin datang sebab pemuda itu terlalu banyak mengalah, Angin lelah, Angin hanya mencoba untuk tidak mengalah.

Meskipun, waktunya tidaklah tepat.

Angin tidak seharusnya egois disaat ini.

Karena bagaimanapun juga Angin telah memberi kecewa pada cinta yang tulusnya luar biasa.

Pov Selatan.

Udah jam segini dan mantan pacar kesayangan gue belum juga balik ke kamar. Gue bingung sama kelakuan dia belakangan ini, udah genap seminggu dia ngejaga jarak ke gue. Apa gue ada salah? Ada pastinya. Dan gobloknya sampe sekarang gue gak ngerti apa kesalahan gue.

Oh atau mungkin, bagi Iyan itu sebuah kesalahan dan bagi gue itu sebuah kebiasaan konyol.

Tapi apaan? Ngerjain dia? Suka ciumin pipi dia malem-malem? Atau suka minta pakein lotion di punggung kebesaran gue? Ah bukan itu, pasti ada lagi.

Dengan senter hp ini gue manfaatin buat nambahin nyali gue muterin asrama yang gedenya ngalahin gedung dpr. Tapi nihil, dari ujung sampe gue balik lagi ke kamar pojok betis Iyan aja gak kesorot mata gue.

Tapi bukan Raden Timur Selatan kalo nyerah gitu aja!

Kali ini gue berniat buat menelusuri asrama kelas yang nggak jauh dari asrama kelas gue sendiri, kelas Physical Education and Sports.

Tepatnya pas di belakang gedung asrama kelas gue, Business Economics.

Tapi karena nyali gue ciut akhirnya gue bangunin soib gue Jordan, buat ikut dengan jaminan gue akan traktir dia tiga hari kedepan, ini cuma boongan aja biar dia mau.

“Lagian lo ngapain lagi sih tolol!” Protes Jordan yang bikin kepala gue tambah pusing.

“Ya kalo gue tau si cinta gak mungkin diemin gue sampe segininya tai. Dah lu diem nanti ada pengawas!”

“Gue sih gak bakal kaget kalo dia disini ternyata lagi ngeseks brutal sama anak kelas sini.”

Gue lirik tajam dan cubit congornya yang asal nyocot itu. “Bacot! Iyan gak akan kaya gitu.”

“Ya gak akan ada yang tau? Atau gini deh kita nguping satu-satu perkamar disini, terus kalo ada yang desah-desahan gue yakin pasti di dalem situ ada si Iyan.”

Plak. Gue tampol tuh muka konyolnya.

“Tolol.”

Gue akhirnya ngelangkah lebih dulu, satu persatu kamar gue intip sebisa mungkin sampe telinga yang gue yakin masih belum butuh pemeriksaan THT denger suara aneh.

Tatapan gue langsung ke arah Jordan yang tampaknya juga lagi natap gue.

“Shit... beneran ada yang ngeseks brut–”

“Ahhhhh!”

Beberapa saat gue masih mencerna lalu gue cepet sadar akan tindakan Jordan yang lagi gedor-gedor kamar nomer dua belas ini.

“WOY KALO NGEWE TAU TEMPAT DONG! ANJING HAHAHA! GAK NYANGKA GUE ANAK SINI DEMEN NGEWE!”

Dan, suara desahan itu berhenti.

Gue akhirnya berusaha ngintip siapa yang ada di dalem tapi kali ini beneran gak ada celah yang bisa kesorot, gue tambah resah belum lagi perkataan konyol Jordan yang tiba-tiba keputer di otak terus.

“Njing! Siapa sih di dalem.”

“Dobrak jangan?” Pertanyaan konyol Jordan yang bikin gue muter kepala lagi.

Iyain apa kagak?

“Yaudah buru.”

“Oke gue itung ya, satu dua tig–”

Brak.

Bukan pintu yang kedobrak, malah badan bosor gue yang kedubrak.

Gue sama Jordan jatuh nyungsur ke lantai sewaktu hitungan ketiga belum juga selesai pintu itu udah dibuka.

Nampilin sosok laki-laki dengan kacamata kegedean dan poni mangkoknya.

“Anjing! Minggir bangsat badan lo kaya badak babi minggir!” Oh, ternyata gue nimpa badan Jordan, pantes gak sakit-sakit amat.

Gue berdiri, Jordan nyusul.

“Fuck! Ngapa kaga aba-aba sih lu mau buka pintunya?”

Pria culun itu gugup bukan main, sedangkan Jordan udah senyum ngeledek.

“Hayo? Lo habis ngewe sama siapa? Gue laporin ah ke guru pengawas.”

“J-jangan!”

“A-aku cuma–”

“Selatan! Ngapain disini sih?”

Itu suara yang gue kenal. Banget. Gue nengok ke arah sumber suara dan bener aja di dalam sana ada mantan kesayangan gue.

“Cinta!” Gue buru-buru masuk ke dalam dan peluk tubuh cilik itu.

“Anjing.... k-alian? Ngew–”

“Jaga mulut lo ya Jordan!” Potong Iyan sekuat tenaga disaat tubuhnya lagi dikekep kuat sama gue.

“Hah...”

“Selatan lepas dulu bisa gak sih!”

Tapi diterima.

Angin memarkirkan motornya tepat di depan gerbang perkarangan rumah Laska.

Pukul sudah menunjuk ke arah delapan malam. Dengan sogokan seadanya yang ia temui di tengah jalan Angin masuk ke rumah sederhana itu.

Diketuknya pelan, dan sesuai dugaan yang keluar tentu bukan Laska.

“Langsung ke kamar aja sayang, Laskanya ngambek daritadi disuruh makan gak mau.”

Angin tersenyum kecil lalu mengangguk.

Mengikuti langkah Ibu, “Gih masuk, Ibu mau ke kamar.”

Tanpa permisi, Angin membuka pintu berwarna putih itu mengintip sedikit dan mendapati Laska yang tengah terbaring membelakanginnya.

“Keluar Angin.”

Ah rupanya tidak tidur.

Dan tentu saja Angin tidak menurut ia langkahkan kakinya semakin dekat setelah menutup pintu itu.

Ikut duduk pada tepi kasur lalu ia menepuk pelan pundak pujaan hatinya.

“Makan dulu sini.”

“Angin keluar.”

“Gak, mau tetep disini sampe kamu tatap mata aku.”

Laska tak menjawab apa-apa, seolah ia lebih memilih untuk bertahan di posisinya.

“Sayang, liat aku.”

Angin menangkup wajah Laska pelan agar pemuda itu menoleh padanya. Kali pertama yang Angin liat adalah, wajah merah dan sedikit basah.

“Aku cape, jalannya bes–”

“Sakit gak pipinya?”

Laska terdiam, Angin sudah mengetahuinya?

Tak ada jawaban, pelan Angin tarik tubuh Laska agar duduk. “Sakit gak sayang?”

Jemarinya bergerak mengusap lembut pipi bulat yang tampak membiru itu. Tetap cantik. Cantik sekali.

“Angin maafin aku.”

Pecah sudah tangisan Laska, pemuda itu menunduk dalam-dalam. Meremat jemari Angin seolah ia benar-benar memohon maaf.

“Gak Ka, kamu gak salah.”

“Maafin aku kalo terlalu ngekang kamu, maaf suka larang kamu ini itu, maaf maafin aku.”

Tunggu, apa maksudnya. Apakah Gibran mengatakan sesuatu?

“Dia bilang apa aja?”

“Maafin aku.”

“Jawab dia bilang apa aja Laskara.” Rahang Angin kembali mengeras, dia hanya tau sebagian dan mungkin lebih baik dia tau semuanya.

Laska mendongak, lalu ia tatap mata Angin yang tengah mengisyaratkan kemarahan.

“A lot, gimana buruknya aku dalam hubungan ini.”

Angin menggeleng kecil.

“Everything he said is true; you haven't been yourself, sejak aku hadir di hidup kamu. Aku minta maaf.”

Mata gelap itu perlahan menjadi sayu, diangkatnya dagu si cantik untuk setelahnya ia kecup pipi itu berkali-kali.

“Ucapan dia gak ada benernya. Aku suka gimana kamu ngetreat aku dengan baik. Aku suka dilarang kamu ini itu. Aku suka sayang, jangan dipikirin ya?”

“I can't Angin, karena ucapan dia emang bener adanya. Aku larang kamu ini itu, tapi kamu gak pernah lar–”

Cup.

Diciumnya api marahku.

“Diobatin dulu sini pipinya, gantian, air matanya juga masih netes netes gak takut cantiknya luntur?”

Laska menggigit bibirnya, isakannya semakin tertahan. “Angin peluk.”

Lalu kedua tangan Angin dibuka dan tubuh Laska yang masuk ke dalamnya, mencari hangatnya, mencari hatinya, untuk menumpahkan tangisnya.

“Maafin dia ya, Ka.”

Laska hanya mengangguk kecil, wajahnya mendongak dan Angin yang juga tengah menatap dirinya.

“Sakit ya sayang?” Angin usap lembut tulang pipi yang selalu ada ciumnya disana.

“Nyeri, but its okey.”

Bibir Angin tertekuk, mengelus pipi itu lagi. “Gausah memble gitu ah, nanti juga sembuh.”

“Jangan nangis lagi ya, aku aja yang nangis.”

Laska mengulum senyumnya lalu mengangguk kecil. “Iya cengeng.”

“Jangan pikirin apa yang dia bilang ya sayang? Semua yang dia bilang gak ada benernya sama sekali bagi aku. Percaya sama aku.”

Laska terdiam dalam dekapan Angin, bingung ingin menjawab seperti apa.

Angin yang paham bahwa Laska masih memikirkan ucapan Gibran pun kembali menangkup wajah itu.

“Kamu percaya dia apa aku?”

Giliran Laska yang kini menekuk bibirnya. “I trust you, tapi–”

Cup.

“Cukup gak ada tapi, kamu percaya sama aku.”

Dan setelah satu kecupan singkat itu. Laska kembali meminta didekap, tidak memedulikan lukanya yang membiru, mengabaikan permintaan Angin untuk mengompres pipinya dan lain sebagainya. Yang hanya ia ingingkan adalah dipeluk sehangat-hangatnya.

Sabtu sore, Angin dan dirinya memiliki janji untuk menonton film di bioskop.

Seperti biasa Laska tinggal menunggu jemputan Angin, namun sudah lebih dari tiga puluh menit dari jam yang mereka tentukan Angin tidak kunjung datang.

Ada dua kemungkinan yang bisa Laska tebak, Tawuran atau Ketiduran.

Sebab hari sabtu, harinya dia nongkrong dan udah pasti gak jauh dari hal tongkrongan basis SMA; Bahas tawuran, alih alih pelajaran.

Laska udah inisiatif banyak, tanyain Sabitha, telepon berkali-kali tapi ya nihil. Mungkin kalau dia punya keberanian lebih Laska bakal telepon Langit sekarang juga.

Tiga puluh menit, empat puluh, dan hampir satu setengah jam lamanya, Angin tetep gak nampakin wujudnya.

Bimbang, kalaupun Angin milih nongkrong pasti udah kabarin dia. Dan kalaupun Angin tidur gak akan selama ini, kan?

Masa iya dia ketiduran sampe lupa sama janjinya.

Ngehela nafas, dari pada penampilan dia sia-sia Laska mencoba untuk ngalah sekali-kali dengan ambil kunci motornya dan bergegas ke tempat dimana Angin biasanya nongkrong sama teman-temannya itu.

Kalo Angin gak ada disitu, berarti fiks ini anak ketiduran.

Sepuluh menit atau kurang, Laska sampe dan bener aja situasi disitu rame banget. Nyali Laska mendadak ciut.

Tapi ngelihat ada yang dia kenal hati Laska sedikit tenang.

“Daniel.”

Panggil Laska, si pemilik nama menoleh dan nampak terkejut. “Eh Ka, ngapain disini?”

Semua atensi kini menatap dirinya, “Ada Angin gak?”

Tanya Laska pada intinya.

Saat Daniel hendak menjawab, rupanya sudah ada decakan dari sosok lain.

“Ck, harus banget apa-apa Angin?”

Laska mencari sumber suara itu, “Gue cuma nanya. Lagian udah ada janji sama dia kok.”

Si empuh tertawa remeh, “Ya kalo Anginnya gak dateng berarti dia males ketemu sama cowok sok ngatur kayak lo.”

“Bran.” Peringat Daniel.

Laska menahan nafasnya, sedikit tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu.

“Gue cuma nanya ya Gibran!”

“Gue juga cuma mau bilang sama lo buat stop larang Angin ini itu, sadar gak sikap posesif lo tuh ngalangin kebebasan tuh bocah?”

Semuanya diam, ah mungkin beberapa dari mereka merasakan hal yang sama dengan ucapan Gibran.

“Gue cuma mau Angin jadi anak bener.”

“Cih, Angin mau gimanapun bentuknya dia tetep liar usaha lo tuh cuma bikin dia gak bebas, sadar gak tolol?”

Suasana makin runyam, Laska yang merasa bahwa dirinya tidak sepenuhnya salah atas ucapan Gibran itu melangkah maju.

“Bran udah duduk.” Sahut Daniel berusaha memisahkan.

Rahang Gibran mengeras, rasanya belum cukup ia menumpahkan api yang selama ini berusaha ia padamkan, “Lo tuh cuma bawa hal buruk buat Angin! Kehadiran lo tuh bikin dia jadi lupain kita dan dirinya sendiri bangsat! Bahkan kehadiran lo bikin orang yang gue cinta harus ngerasain sakit hati! Semua ini karena lo!”

Laska menggertak, “Gue cuma mau Angin jadi–”

Bugh.

“Ah bacot!”

Laska meringis, bogeman mentah baru saja melayang di pipi mulusnya. Dengan cepat ia melirik tajam Gibran yang tampak kebingungan. Seolah yang ia lalukan barusan adalah hal di luar kendalinya.

Sontak semuanya bergerak memisahkan, “Angin gak ada disini, lo mending pulang aja Ka. Biar Gibran jadi urus–”

Belum selesai Daniel berbicara, Laska sudah melesat pergi.

Entah sejak kapan, air matanya menetes. Bukan, bukan karena rasa sakit yang ada namun otaknya terbayang akan perkataan Gibran barusan.

Benarkah dirinya terlalu memaksa Angin untuk berubah?

Benarkah dia membuat Angin terkekang dan tidak bebas?

Dan dia baru menyadari bahwa ada seseorang yang terpatah hati sebab kehadirannya.

JOYIJEKI

Begitu sampe kediaman rumahnya, tanpa babibu Jerico masuk ke kamar dia dan Kiel.

Jantungnya udah hampir merosot saat baca pesan Kiel yang bikin rasa bersalahnya makin-makin.

Jerico tau kalau hormon seorang yang tengah hamil jauh lebih sensitif, Jerico tau itu.

“Jerico...” Begitu buka pintu pemandangan yang dia dapet adalah Kiel yang tengah duduk dengan lutut tertekuk di bawah.

Hati Jerico mencelos melihatnya, belum lagi mata Kiel yang beneran gambarin rasa lelah dan frustasi.

“Sayang..” Jerico bawa tubuh Kiel untuk duduk di atas kasur.

Menarik suaminya untuk masuk dalam dekapannya.

“Kamu gak sendirian, ada aku Jose, semuanya selalu ada buat kamu sama dede. Jangan mikir gitu ya? Aku sama Jose selalu sayang kamu. Sayang banget sama Kiel.”

“Jangan tinggalin Kiel.”

Tubuh Kiel bergetar, memeluk erat suaminya menumpahkan tangisannya disana.

Entahlah, pikirannya dibabat habis oleh bayangan negatif yang membuatnya selalu merasa sendiri. Kiel benar-benar ingin segera melewati fase-fase ini.

Dia lelah.

“Nggak akan, Jerico gak akan tinggalin Kiel.”

“Kiel gak bisa tanpa Jerico.”

“Iya, nanti Jerico banyakin waktu sama Kiel.”

“Kiel capek nangis.”

Andai semua yang Kiel rasa bisa Jerico tukarkan dengan dirinya.

“Maaf.”

“Jerico Kiel harus apa biar gak nangis terus.”

“Kiel gak perlu berhenti nangis.”

“Tapi Kiel capek.”

Jerico kehilangan kata-katanya, mau ikut nangis aja rasanya gak pantes.

“Kiel butuh apa? Bilang Jerico kabulin sekarang juga.”

“Mau berhenti nangis.”

Dengan begitu Jerico kembali melemas. Melonggarkan pelukannya lalu menangkup wajah Kiel.

Wajah imut itu sepenuhnya basah, merah, dan hampir sembab. Jerico tak bisa melihatnya lebih lama.

Dikecupnya kelopak mata Kiel satu persatu. Lalu disusul dengan usapan lembut untuk menghapus jejak air mata yang masih setia turun.

“Udah ya nangisnya sayang, capek boleh tapi jangan dipendem sendiri, ada aku.”

Kiel tak menjawab ia justru menekuk bibirnya. “Mau cium ya?”

Tanpa jawaban, Jerico mengecup ranum itu.

“Lagi Jerico, yang lama sampe nangisnya berhenti.”

Hatinya sedikit tenang, mendengar itu. Jerico memajukan ranumnya lagi, mengecup, melumat lembut.

Lembut sekali. Hingga rasanya pikiran negatif Kiel ikut disesap lembut oleh bibir tebal Jerico yang dengan apik menjamah ranum basah itu.