Jadi, selesai ya?

Laska jelas tau kemana arah pembicaraan mereka kali ini. Pandangannya jatuh pada pemuda yang sudah cukup lama mengosongi hari-harinya.

“Kangen Laska.”

Sama Angin. Tapi apa boleh buat? Jawaban itu hanya terucap dalam batinnya.

“Angin.”

Panggil Laska, pemuda itu tersenyum untuk menjawabnya.

Pada akhirnya Angin kembali mengalah. Pada akhirnya Angin yang akan datang padanya. Dan pada akhirnya Laskara sadar bahwa akar permasalahan mereka bukan ucapan sialan itu.

Mungkin akan cepat selesai jika Angin menjelaskannya, dan mungkin akan cepat selesai jika Laska tak menyepelekan Anginnya.

Laska sadar bahwa sikap Angin belakangan mungkin bentuk kecil perlawanan lelaki itu karena sudah terlalu lelah memberi kebebasan pada egonya.

Tapi sayang, sikap Angin tidak bisa melemahkan egonya sama sekali.

Angin mengeluarkan suaranya, menarik tangan Laska ke genggamannya.

Intinya tetap sama, Angin meminta maaf atas sikapnya, sorot matanya terlihat benar-benar tulus memohon.

“Aku sayang kamu Ka, sayang banget. Gak akan ada yang bisa gantiin kamu sekalipun kamu pergi tinggalin aku nantinya.”

Laska tau Angin tidak pernah berbohong atas rasa cintanya.

“Aku salah, aku yang salah. Maafin aku.” Ucap Angin di akhir kalimat.

Laska menunduk, dirinya benar-benar takut. Ia benar-benar takut jika harus merasakan waktu dimana Anginnya bisa pergi kapan saja atas sikapnya.

Angin dan dirinya perlu istirahat.

“Angin, lets take a break.”

Dan mungkin ini keputusan terbaik.

“Enggak Laska!”

“Maaf Angin.”

“Sayang, kamu gak salah aku yang salah. Aku salah karena ngomong begitu ke Sabitha aku yang salah, kamu gak perlu minta maaf, maafin aku. Ka aku gak bisa.”

Angin kalang kabut, bahkan kini ia sudah bersimpuh memohon agar Laska menarik ucapannya.

Jemarinya menggapai wajah Angin, “I love you Angin. Dan mungkin sangking cintanya aku, aku sampe gak bisa kontrol ekspetasi aku ke kamu.”

Angin menggeleng, bibirnya bergetar.

“Aku sama kamu perlu istirahat buat semuanya, nanti kita balik lagi kalo sama-sama udah lebih baik ya?”

“Enggak Ka, nggak.”

“Angin, aku jauh lebih takut kalo suatu saat nanti kita sama-sama sakit karna hal yang lagi-lagi keulang.”

“Kita perlu perbaikin ini untuk kedepannya, percaya aku. Aku sayang banget sama kamu, karena itu aku m–”

“Angin jangan nangis.”

“Angin ini sementara aja, Angin jangan nangis.”

Angin bertahan di posisinya, semakin tenggelam pada paha Laska menumpahkan tangisnya, kepalanya terus menggeleng kecil. Harap-harap Laska mengerti tolakannya.

Namun, Laska terlanjur membulatkan keputusannya untuk mengambil istirahat sejenak, meskipun dari kemarin mereka memang sudah cukup menjaga jarak akan tetapi Laska rasa ini belum sepenuhnya baik.

Dewa benar sikap egois Angin datang sebab pemuda itu terlalu banyak mengalah, Angin lelah, Angin hanya mencoba untuk tidak mengalah.

Meskipun, waktunya tidaklah tepat.

Angin tidak seharusnya egois disaat ini.

Karena bagaimanapun juga Angin telah memberi kecewa pada cinta yang tulusnya luar biasa.