Sabtu sore, Angin dan dirinya memiliki janji untuk menonton film di bioskop.

Seperti biasa Laska tinggal menunggu jemputan Angin, namun sudah lebih dari tiga puluh menit dari jam yang mereka tentukan Angin tidak kunjung datang.

Ada dua kemungkinan yang bisa Laska tebak, Tawuran atau Ketiduran.

Sebab hari sabtu, harinya dia nongkrong dan udah pasti gak jauh dari hal tongkrongan basis SMA; Bahas tawuran, alih alih pelajaran.

Laska udah inisiatif banyak, tanyain Sabitha, telepon berkali-kali tapi ya nihil. Mungkin kalau dia punya keberanian lebih Laska bakal telepon Langit sekarang juga.

Tiga puluh menit, empat puluh, dan hampir satu setengah jam lamanya, Angin tetep gak nampakin wujudnya.

Bimbang, kalaupun Angin milih nongkrong pasti udah kabarin dia. Dan kalaupun Angin tidur gak akan selama ini, kan?

Masa iya dia ketiduran sampe lupa sama janjinya.

Ngehela nafas, dari pada penampilan dia sia-sia Laska mencoba untuk ngalah sekali-kali dengan ambil kunci motornya dan bergegas ke tempat dimana Angin biasanya nongkrong sama teman-temannya itu.

Kalo Angin gak ada disitu, berarti fiks ini anak ketiduran.

Sepuluh menit atau kurang, Laska sampe dan bener aja situasi disitu rame banget. Nyali Laska mendadak ciut.

Tapi ngelihat ada yang dia kenal hati Laska sedikit tenang.

“Daniel.”

Panggil Laska, si pemilik nama menoleh dan nampak terkejut. “Eh Ka, ngapain disini?”

Semua atensi kini menatap dirinya, “Ada Angin gak?”

Tanya Laska pada intinya.

Saat Daniel hendak menjawab, rupanya sudah ada decakan dari sosok lain.

“Ck, harus banget apa-apa Angin?”

Laska mencari sumber suara itu, “Gue cuma nanya. Lagian udah ada janji sama dia kok.”

Si empuh tertawa remeh, “Ya kalo Anginnya gak dateng berarti dia males ketemu sama cowok sok ngatur kayak lo.”

“Bran.” Peringat Daniel.

Laska menahan nafasnya, sedikit tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu.

“Gue cuma nanya ya Gibran!”

“Gue juga cuma mau bilang sama lo buat stop larang Angin ini itu, sadar gak sikap posesif lo tuh ngalangin kebebasan tuh bocah?”

Semuanya diam, ah mungkin beberapa dari mereka merasakan hal yang sama dengan ucapan Gibran.

“Gue cuma mau Angin jadi anak bener.”

“Cih, Angin mau gimanapun bentuknya dia tetep liar usaha lo tuh cuma bikin dia gak bebas, sadar gak tolol?”

Suasana makin runyam, Laska yang merasa bahwa dirinya tidak sepenuhnya salah atas ucapan Gibran itu melangkah maju.

“Bran udah duduk.” Sahut Daniel berusaha memisahkan.

Rahang Gibran mengeras, rasanya belum cukup ia menumpahkan api yang selama ini berusaha ia padamkan, “Lo tuh cuma bawa hal buruk buat Angin! Kehadiran lo tuh bikin dia jadi lupain kita dan dirinya sendiri bangsat! Bahkan kehadiran lo bikin orang yang gue cinta harus ngerasain sakit hati! Semua ini karena lo!”

Laska menggertak, “Gue cuma mau Angin jadi–”

Bugh.

“Ah bacot!”

Laska meringis, bogeman mentah baru saja melayang di pipi mulusnya. Dengan cepat ia melirik tajam Gibran yang tampak kebingungan. Seolah yang ia lalukan barusan adalah hal di luar kendalinya.

Sontak semuanya bergerak memisahkan, “Angin gak ada disini, lo mending pulang aja Ka. Biar Gibran jadi urus–”

Belum selesai Daniel berbicara, Laska sudah melesat pergi.

Entah sejak kapan, air matanya menetes. Bukan, bukan karena rasa sakit yang ada namun otaknya terbayang akan perkataan Gibran barusan.

Benarkah dirinya terlalu memaksa Angin untuk berubah?

Benarkah dia membuat Angin terkekang dan tidak bebas?

Dan dia baru menyadari bahwa ada seseorang yang terpatah hati sebab kehadirannya.