JOYIJEKI
Begitu sampe kediaman rumahnya, tanpa babibu Jerico masuk ke kamar dia dan Kiel.
Jantungnya udah hampir merosot saat baca pesan Kiel yang bikin rasa bersalahnya makin-makin.
Jerico tau kalau hormon seorang yang tengah hamil jauh lebih sensitif, Jerico tau itu.
“Jerico...” Begitu buka pintu pemandangan yang dia dapet adalah Kiel yang tengah duduk dengan lutut tertekuk di bawah.
Hati Jerico mencelos melihatnya, belum lagi mata Kiel yang beneran gambarin rasa lelah dan frustasi.
“Sayang..” Jerico bawa tubuh Kiel untuk duduk di atas kasur.
Menarik suaminya untuk masuk dalam dekapannya.
“Kamu gak sendirian, ada aku Jose, semuanya selalu ada buat kamu sama dede. Jangan mikir gitu ya? Aku sama Jose selalu sayang kamu. Sayang banget sama Kiel.”
“Jangan tinggalin Kiel.”
Tubuh Kiel bergetar, memeluk erat suaminya menumpahkan tangisannya disana.
Entahlah, pikirannya dibabat habis oleh bayangan negatif yang membuatnya selalu merasa sendiri. Kiel benar-benar ingin segera melewati fase-fase ini.
Dia lelah.
“Nggak akan, Jerico gak akan tinggalin Kiel.”
“Kiel gak bisa tanpa Jerico.”
“Iya, nanti Jerico banyakin waktu sama Kiel.”
“Kiel capek nangis.”
Andai semua yang Kiel rasa bisa Jerico tukarkan dengan dirinya.
“Maaf.”
“Jerico Kiel harus apa biar gak nangis terus.”
“Kiel gak perlu berhenti nangis.”
“Tapi Kiel capek.”
Jerico kehilangan kata-katanya, mau ikut nangis aja rasanya gak pantes.
“Kiel butuh apa? Bilang Jerico kabulin sekarang juga.”
“Mau berhenti nangis.”
Dengan begitu Jerico kembali melemas. Melonggarkan pelukannya lalu menangkup wajah Kiel.
Wajah imut itu sepenuhnya basah, merah, dan hampir sembab. Jerico tak bisa melihatnya lebih lama.
Dikecupnya kelopak mata Kiel satu persatu. Lalu disusul dengan usapan lembut untuk menghapus jejak air mata yang masih setia turun.
“Udah ya nangisnya sayang, capek boleh tapi jangan dipendem sendiri, ada aku.”
Kiel tak menjawab ia justru menekuk bibirnya. “Mau cium ya?”
Tanpa jawaban, Jerico mengecup ranum itu.
“Lagi Jerico, yang lama sampe nangisnya berhenti.”
Hatinya sedikit tenang, mendengar itu. Jerico memajukan ranumnya lagi, mengecup, melumat lembut.
Lembut sekali. Hingga rasanya pikiran negatif Kiel ikut disesap lembut oleh bibir tebal Jerico yang dengan apik menjamah ranum basah itu.