Tapi diterima.
Angin memarkirkan motornya tepat di depan gerbang perkarangan rumah Laska.
Pukul sudah menunjuk ke arah delapan malam. Dengan sogokan seadanya yang ia temui di tengah jalan Angin masuk ke rumah sederhana itu.
Diketuknya pelan, dan sesuai dugaan yang keluar tentu bukan Laska.
“Langsung ke kamar aja sayang, Laskanya ngambek daritadi disuruh makan gak mau.”
Angin tersenyum kecil lalu mengangguk.
Mengikuti langkah Ibu, “Gih masuk, Ibu mau ke kamar.”
Tanpa permisi, Angin membuka pintu berwarna putih itu mengintip sedikit dan mendapati Laska yang tengah terbaring membelakanginnya.
“Keluar Angin.”
Ah rupanya tidak tidur.
Dan tentu saja Angin tidak menurut ia langkahkan kakinya semakin dekat setelah menutup pintu itu.
Ikut duduk pada tepi kasur lalu ia menepuk pelan pundak pujaan hatinya.
“Makan dulu sini.”
“Angin keluar.”
“Gak, mau tetep disini sampe kamu tatap mata aku.”
Laska tak menjawab apa-apa, seolah ia lebih memilih untuk bertahan di posisinya.
“Sayang, liat aku.”
Angin menangkup wajah Laska pelan agar pemuda itu menoleh padanya. Kali pertama yang Angin liat adalah, wajah merah dan sedikit basah.
“Aku cape, jalannya bes–”
“Sakit gak pipinya?”
Laska terdiam, Angin sudah mengetahuinya?
Tak ada jawaban, pelan Angin tarik tubuh Laska agar duduk. “Sakit gak sayang?”
Jemarinya bergerak mengusap lembut pipi bulat yang tampak membiru itu. Tetap cantik. Cantik sekali.
“Angin maafin aku.”
Pecah sudah tangisan Laska, pemuda itu menunduk dalam-dalam. Meremat jemari Angin seolah ia benar-benar memohon maaf.
“Gak Ka, kamu gak salah.”
“Maafin aku kalo terlalu ngekang kamu, maaf suka larang kamu ini itu, maaf maafin aku.”
Tunggu, apa maksudnya. Apakah Gibran mengatakan sesuatu?
“Dia bilang apa aja?”
“Maafin aku.”
“Jawab dia bilang apa aja Laskara.” Rahang Angin kembali mengeras, dia hanya tau sebagian dan mungkin lebih baik dia tau semuanya.
Laska mendongak, lalu ia tatap mata Angin yang tengah mengisyaratkan kemarahan.
“A lot, gimana buruknya aku dalam hubungan ini.”
Angin menggeleng kecil.
“Everything he said is true; you haven't been yourself, sejak aku hadir di hidup kamu. Aku minta maaf.”
Mata gelap itu perlahan menjadi sayu, diangkatnya dagu si cantik untuk setelahnya ia kecup pipi itu berkali-kali.
“Ucapan dia gak ada benernya. Aku suka gimana kamu ngetreat aku dengan baik. Aku suka dilarang kamu ini itu. Aku suka sayang, jangan dipikirin ya?”
“I can't Angin, karena ucapan dia emang bener adanya. Aku larang kamu ini itu, tapi kamu gak pernah lar–”
Cup.
Diciumnya api marahku.
“Diobatin dulu sini pipinya, gantian, air matanya juga masih netes netes gak takut cantiknya luntur?”
Laska menggigit bibirnya, isakannya semakin tertahan. “Angin peluk.”
Lalu kedua tangan Angin dibuka dan tubuh Laska yang masuk ke dalamnya, mencari hangatnya, mencari hatinya, untuk menumpahkan tangisnya.
“Maafin dia ya, Ka.”
Laska hanya mengangguk kecil, wajahnya mendongak dan Angin yang juga tengah menatap dirinya.
“Sakit ya sayang?” Angin usap lembut tulang pipi yang selalu ada ciumnya disana.
“Nyeri, but its okey.”
Bibir Angin tertekuk, mengelus pipi itu lagi. “Gausah memble gitu ah, nanti juga sembuh.”
“Jangan nangis lagi ya, aku aja yang nangis.”
Laska mengulum senyumnya lalu mengangguk kecil. “Iya cengeng.”
“Jangan pikirin apa yang dia bilang ya sayang? Semua yang dia bilang gak ada benernya sama sekali bagi aku. Percaya sama aku.”
Laska terdiam dalam dekapan Angin, bingung ingin menjawab seperti apa.
Angin yang paham bahwa Laska masih memikirkan ucapan Gibran pun kembali menangkup wajah itu.
“Kamu percaya dia apa aku?”
Giliran Laska yang kini menekuk bibirnya. “I trust you, tapi–”
Cup.
“Cukup gak ada tapi, kamu percaya sama aku.”
Dan setelah satu kecupan singkat itu. Laska kembali meminta didekap, tidak memedulikan lukanya yang membiru, mengabaikan permintaan Angin untuk mengompres pipinya dan lain sebagainya. Yang hanya ia ingingkan adalah dipeluk sehangat-hangatnya.