AnginLaska
Ribuan langkah yang kian menjauh, kini akan kembali pada titik yang sama. Titik yang selama ini menjadi sebuah penantian atas dua rindu yang selalu redup dihempas ego dan waktu.
Angin dan harinya selalu dihantui akan pertanyaan,
Memang mau seberapa lama lagi?
Memang mau seberapa jauh lagi?
Langkahnya kian cepat saat matanya menangkap tempat yang selalu menjadi pulangnya.
“Lama banget Ka.”
Lama, lama sekali bagi Angin.
Laska tersenyum hangat, ah senyuman yang selalu Angin rindukan.
Perlahan Laska menarik nafasnya, “Kata Dewa, kalo aja aku punya orang lain sebelum kamu mungkin yang bakal bertahan tiga bulan lamanya cuma kamu. Sisanya satu bulan aja udah angkat tangan.”
“Aku sakit hati dengernya. Apa aku sekurang itu– tapi bener juga, mau dipaksa gimanamu manusia gak pernah sempurna, ya?”
Angin menggeleng kencang.
“Tapi, setelah itu aku sadar gimana buruknya aku. Gimana besarnya kepala aku. Mungkin– aku beruntung karena aku punya kamu.” Laska berbisik, suaranya lembut namun sedikit bergetar.
“Usaha kamu yang selalu ada buat aku, usaha kamu yang selalu ngalah buat aku.”
“Kamu berusaha sebaik mungkin buat aku, dan aku yang bodohnya gak pernah liat usaha itu. Aku yang selalu sepelein kamu dengan hal-hal kecil yang ternyata kamu usahainnya setengah mati.”
Kisah remaja mereka mungkin romantis penuh cinta, tapi siapa yang tau jika akan ada masanya mereka menghadapi ego yang begitu tinggi?
“Aku gak pernah sadar kalo nantinya mungkin ada waktunya kamu capek sama aku, lagi-lagi yang aku pikirin cuma kamu yang harus sesuai apa yang aku mau.”
“Tanpa peduli gimana susahnya. Empat bulan Ngin, aku mikirin kenapa bisa kamu masih bertahan sejauh ini sama aku?”
“Aku selalu mikir, definisi cinta menurut kamu itu apa sih? Kenapa kamu selalu di sini buat aku?”
“Ka.”
“Ngin, aku sayang banget sama kamu. Maafin aku. Aku janj—” Ucapannya terpotong kala tubuhnya didekap hangat.
“Aku gak pernah paham cinta itu apa, dan gimana rasanya patah hati. Kamu bisa liat gimana bodohnya aku soal ginian.”
“Sampe ada waktunya aku ngerasa kayak ada sesuatu yang hilang, kayak ada ruang kosong yang nggak bisa diisi dengan apa pun. Sesakit ini ternyata patah hati Ka.”
Laska meremat punggung Angin. Entah sejak kapan air matanya turun membasahi kaos Angin.
“Jangan jauh-jauh lagi ya Ka?”
“Aku terima kamu ambil langkah ini. Tapi, kalo harus lagi aku gak akan bisa.”
“Maafin aku, maafin aku Angin.”
Angin melepas pelukannya. Menatap Laska yang masih terisak dengan wajah basahnya.
“Cantik, cantik banget sayang.” Laska terkekeh, sudah lama sekali tubuh keduanya tidak sedekat ini?
“Aku sayang sama kamu Angin. Sayang banget.”
Angin tersenyum, jemari besarnya perlahan mengusap lembut wajah cantik itu.
“Can i kiss you?”
Laska diam tak menjawab, namun kakinya sedikit berjinjit guna menggapai ranum Angin, “Kangen.” Ucapnya setelah selesai memberi kecupan singkat.
Keduanya tersenyum, Angin menarik dagu kecil itu untuk ia pautkan bibirnya, melumat pelan. Ciuman itu tampak mulus dan lembut, bibir Angin benar-benar menjamah dengan baik, mempermainkan ranumnya dengan sangat penuh cinta.
Ini adalah ciuman yang paling Laska dambakan.
“Sayang kamu.” Ucap Angin lalu membawa tubuh Laska ke dalam dekapnya untuk waktu yang lebih lama lagi.
“Sayang Angin juga.”
Dan, mereka adalah dua jiwa kecil yang akhirnya menyadari bahwa cinta tak selalu sempurna. Cinta yang sebenarnya tentang bertahan, memaafkan dan tumbuh bersama.