hanavvao

Ini adalah hari terakhir mereka, baik Laska dan Dewa masih terlihat tidak baik-baik saja menurut kacamata Tiyo. Ah Tiyo tentu tau akar dari permasalahan mengapa dua orang sahabat yang biasanya lengket tiba-tiba udah kaya air dan api.

Pokoknya, siapapun bakal notice kalo keduanya emang lagi nyembunyiin sesuatu yang bikin suasana siang menuju sore itu seding canggung.

“Guys, tujuan gue bikin acara ini supaya kita makin akrab ya btw. Jadi gue mohon disini siapapun buat enjoy for the last day dan perjalanan pulang.”

“Buat mobil gue bakal bagi sesuai yang setidaknya satu arah ya.”

Pembagian mobil pun dimulai, total ada tiga mobil yang bakal di isi, mobil pertama, Harsha, Daniel, Dewa, Kahitna, dan Cinta.

Mobil kedua, Hani, Winda, Keenan, Theo, dan Gina.

Mobil ketiga, Veros, Tiyo, Angin, Laska, Kalula dan Gibran,

Dan sewaktu Tiyo tau siapa aja yang bakal semobil sama dia, dan Harsha nyebut nama Angin Laska seketika dia ketawa paling kenceng, sampe semuanya heran terkecuali Laska yang udah tau maksud dari ketawanya Tiyo.

Semuanya udah mulai naik mobil masing-masing. Laska dan Tiyo duduk di barisan kedua dengan Angin yang akan mengemudi.

“Ka, nanti kalo mau ciuman sama supirnya nunggu semuanya udah pada tidur, ok?”

“Gue sumpel mulut lu pake ni kaos kaki ya anjing, diem sumpah.” Laska merutuki dirinya sendiri. Dan jujur aja dia baru tau kalo ternyata dia sama Angin satu arah.

“Gue kan cuma ngasih saran? Ntar kalo ada yang denger selain gue gimana coba?”

“TIYO DIEEEEMMMM!”

Reflek satu mobil menatap dia, begitupun Angin yang menatapnya lewat spion depan.

“Hehehe maaf ini Tiyo daritadi nyubitin gue.”

“Ih mesum ya Kak Tiyo.”

“Enak aja! Dia nih yang mulai cium-cium pipi gue.”

“Mulut lu!!!!!”

“Beneran?” Angin menoleh bertanya dengan spontan ngebuat seisi mobil diem.

“Apa?” Tanya Laska.

“Lo cium-cium pipi Tiyo?”

“Bener anjir, gak liat nih pipi gue lengket sampa lipbalm bau kencur die?” Bukan Laska yang menjawab melainkan Tiyo yang sepertinya memang sengaja melakukan hal itu.

“Apasih orang ini bubble gum! Kencur dikata seblak.” Seisi mobil tertawa terkecuali Angin.

“Ih Kak Laska pake lip balm merk apa? Bagus, spill dong.” Selanjutnya dua orang itu mengobrol banyak hal.

“Tapi Kal, lo tau gak, lipbalm yang paling manjur anti kering.”

“Ih apa Kak?!, Kak Tiyo suka pake juga ya, sok atuh spill.”

“Bukan gue sih, gue juga kaga pernah nyicip, coba lu tanya orang yang lagi nyetir.”

Detik itu juga Tiyo teriak karena dicubit pahanya kenceng banget sama Laska.

“Sakit anying!”

Sementara Angin? Dia terkekeh, mengerti akan apa yang di maksud Tiyo dan kembali melirik Laska sekilas sebelum menatap jalanan kembali.

“Eh gue maren denger suara desahan kenceng banget di lantai bawah.” Gibran yang tengan duduk di samping pengemudi kembali memulai percakapan.

Tiyo yang mendengar ucapan Gibran seketika bersemangan 45, berbeda dengan Laska yang mukanya udah pucet bahkan dia menahan napas buat sejenak.

“Eh lo denger juga Gib?”

“Denger anjir. Gue kira itu si Angin lagi gawe ya biasalah lu tau kelakuan nih setan satu. Tapi kan dia sekamar yak sama lu Ka?”

“I-iya.”

“Jadi gue pikir bukan. Terus yaudahlah gue lanjut tidur karena bukan Angin.”

“Bisa aja kali si Angin.” Timpal Tiyo dan lagi lagi dapet cubitan tajam dari Laska. Nih kayanya paha Tiyo udah biru deh.

“Emang iya Ngin? Main sama siapa lu?” Tanya Gibran spontan. Dan tentu aja pertanyaan iti bikin Laska makin pucet berharap kalo jawaban Angin gak akan aneh aneh dan GAK AKAN JAWAB JUJUR.

“Bukan. Gue semalem tidur pules. Harsha sama Daniel kali kan mereka sekamar.” Laska bernapas lega.

“Tidur di lantai apa kasur Ngin?”

“Kasur lah, orang dikelonin gue.”

“Kasus-kasus, terus Laska tidur dimana? Seenaknya banget lu bawa orang lain buat dikelonin.”

“Gue kelonnya sama Laska, Gibran.”

Seketika seisi mobil, bahkan Veros yang mulai terlelap itu membuka matanya. “Anying?”

“Ngaco!!! Gak ya orang lo tidur di lantai.”

“Hahahaha. Iya gue tidur di lantai. Pegel Bran. Ntar pom depan switch yak?”

“Kasian amat. Tapi gapapa layak.”

Syukurnya semua orang percaya, ya kecuali Tiyo yang tiba-tiba suka ketawa sendiri.

Let’s get lost in each other tonight.

Lima tahun lalu Meraki sangat awam akan masalah percintaannya. Ya meskipun sampai sekarang selalu begitu. Kata Aidan, Meraki itu orangnya tidak rumit, mau menerima siapa saja yang datang. Mau mencoba apapun yang terasa segar, semuanya Meraki lakukan untuk mencatat masa mudanya.

Umurnya kini menginjak dua puluh sembilan tahun. Tidak muda, cukup sekali untuk menikah bukan? Tapi di jaman sekarang tentu menikah bukan keputusan yang mudah. Duh kalau saja boleh jujur, Meraki tidak pernah terpikir untuk menikah. Sama sekali. Dia hanya ingin bersenang-senang dengan mencoba semua yang mendekat padanya.

Kalau untuk menikah… nanti saja, biar waktu yang mengubah mindsetnya itu.

Di usianya sekarang juga, kayaknya tidak berhasil mengubah sikapnya yang terlalu ingin muda selalu. Lihat saja, hampir kepala tiga tapi masih duduk di sebuah meja klub sambil menunggu seseorang yang lima tahun lalu menemani harinya untuk waktu yang singkat.

Meskipun, kata Aidan seseorang itu tergolong lama dalam menjalin kasih dengannya.

Matanya mendelisik ke arah sekitar, mencari-mencari sembari berharap kalau orang yang ia cari ada di satu atap dengannya malam ini.

“Ki, gue kesono dulu lu kalo mau join tinggal rangkul gue aja ntar, ok?”

Meraki mendengus, menyesal mengajak si Aidan ini. “Lu beneran liat dia gak sih nyet? Ngarang ya lu?”

Aidan memutar bola matanya. “Nekuk mulu tuh muka. Udah ah buru ikut gue aja. Yang lebih mantep disini juga banyak.”

Meraki akhirnya menurut, mengikuti langkah Aidan yang mengarah ke tengah kerumunan di lantai tengah sebuah klub yang semakin ramai itu. Beberapa menit terasa boring, sampai Meraki mulai terbawa suasana karena malam semakin larut. Bahkan kini dirinya sudah terpisah dengan Aidan.

Mata Meraki mulai sendu, mengerti dengan kadar Alkoholnya, akhirnya ia memilih mundur dan berniat kembali ke meja yang ia pesan. Tapi karena terlalu riuh, badannya yang sudah sedikit lemah itu mudah terdorong oleh orang-orang yang kekuatannya masih sebesar algojo jadilah tubuhnya itu bagai kacang kenari.

Dan belum sempat menahan bobotnya yang tak seberapa itu. Tubuhnya tiba-tiba hampir terhuyung jatuh, kalau saja— tidak ada dada besar yang menahan tubuhnya.

Dramatis, persis sekali dengan potongan film. Duh memalukan kalau menurut Meraki.

Dia menoleh melihat siapa laki-laki dengan wangi paling menyengat di tengah-tengah bau arak ini.

Dan, ini seperti takdir, bahkan persis seperti film yang pengarangnya sudah pasti jelas perempuan. Rupanya, di depannya ini orang yang menjadi alasannya menginjak kaki disini. Oh, god. Benarkah ini Saddam Pramdhani? Bocah dua puluh tahun yang ia kenal lima tahun lalu? Saddam, Adam. Sayang, kenapa tampan sekali?

“You okay?”

Mungkin Saddam tak mengenal dirinya, sebab gemerlap lampu diskotik yang memang cukup mengganggu pandangan.

Meraki menggeleng sebagai jawaban. Jadilah, Saddam merangkulnya sambil berjalan keluar dari zona kerumunan.

Penerangan sudah semakin jelas, karena mereka sudah duduk di meja Meraki. “Remember me?” Tanya Meraki saat Saddam membulatkan matanya begitu sadar siapa yang sedari tadi ia rangkul.

“Kak Sayan— sorry Kak Aki?”

Meraki terkekeh dan ia mengangguk. “Long time no see, Adam.”

“Gue kaget, lo berubah banget soalnya.”

Saddam menggaruk rambutnya. “Gitu deh Kak. Lo sendirian apa gimana?”

“Enggak sama Aidan tapi gak tau dah bocahnya dimana, lo sendiri?”

“Sendiri, hahaha.”

“Nyari partner ya?”

Saddam menggeleng keras, “Nggak. Cuma lagi berusaha akrab sama jakarta di jam dua belas ke atas aja.”

Meraki tertawa kencang. “Gak jauh beda kali sama Bali Dam. Malah lebih gacor disana gak sih?”

Saddam tampak mengangguk sambil tersenyum. “Gue baru pulang kesini minggu lalu Kak. Dapet job disini.”

“Ini in a good way or not?”

“Fifty-fifty lah.”

“Why not?”

“Hidup mulai serius.” Meraki tertawa lagi.

“Terus in good nya?”

“Ketemu lo.”

“Yang berubah tampangnya doang ternyata.” Meraki mendengus, dan keduanya semakin menempel seakan ada tarikan magnet sendiri untuk tangan Saddam melingkar di pinggangnya.

“Lo juga gak ada yang berubah. Gak menua, kalo lo bilang masih dua puluh satu tahun gue juga percaya aja.”

“Jauh banget. Gue udah hampir kepala tiga kali Dam.”

“Dan gue udah dua puluh lima tahun. Cukup gak kalo buat lo? Hahaha.”

Ah, Saddam benar-benar berubah ternyata. Tidak hanya tampangnya yang semakin mantap. Tapi perubahan tutur kata, suara, atau bahkan gerakan menggodanya yang cukup piawai itu sungguh membuat Meraki terkesima.

“Well let’s see what five years did to you.” Goda Meraki saat tau arah pembicaraan Saddam.

Dan begitu akhirnya saat ranum Saddam memagut bibirnya dengan lembut. Wah benar-benar nikmat untuk sebuah ciuman pembuka.

“I'm a good boy, right?” Saddam bertanya di sela ia mencium Meraki.

“You’re such a good boy.” Keduanya terkekeh manis, lalu Saddam memagut ranum itu lagi, diajaknya untuk dilumat dan dihisap. Dicicipinya rasa alkohol yang tertinggal, menangkap tengkuk Meraki untuk dituntun agar membalas dengan baik. Membiarkan jemari Meraki meremas surainya agar Saddam tau bahwa yang menikmati ciumannya bukan dirinya saja, melainkan Meraki yang semakin berani mendorongnya lebih dalam.

“Let’s get lost in each other tonight?”

“Where?”

“Anywhere, Kakak sayang.”

Wonwoo

Hari itu berjalan cukup mulus. Gue yang dari awal riweh sendiri dengan agenda first date (tolong anggep aja demikian karena gue bingung deskripsiinnya gimana. Thanks) dengan orang yang baru aja kemarin nemenin gue buat menginjak tanah Prau. Sejujurnya gue gak punya ekspetasi berlebih setelah ajakan ini. Gue gak bisa menebak apa yang ada dipikiran Mas Mingyu meskipun nih ya. Kemungkinan besar yang ada di otak gue emang masuk-masuk aja.

Ngajak jalan after mountain bareng. Shit lah, klasik banget gak sih? Tapi gak apa ini orangnya Mingyu. Kim Mingyu. Mas Mingyu. Ganteng, tinggi, wangi, sempurna. Dan dia deketin gue (kayanya) aduh gak tau deh gue pusing. Gue butuh menghirup wangi si bolang, kucing belang hitam putih yang selama enam bulan terakhir nemenin gue di jakarta yang luas ini.

“Lang, menurut lu Mas Mingyu naksir gue juga gak?”

Si bolang gak jawab melainkan suara bel yang terdengar masuk ke telinga gue. Tiba-tiba aja gue gemeter. Aduh! Gue belum siap tolong.

Gue intip sedikit dari lubang kecil yang ada di pintu. Dan bener aja di sana ada Mingyu. Gue buka, beneran ada Mas Mingyu dengan setelan kaos polo dan jeans longgar yang sialnya bikin dia kelihatan makin attractive.

“Halo jagoan.”

Gue paham dia bukan nyapa gue, melainkan si bolang yang sekarang lagi gue gendong.

“Dan… halo Wonwoo?” Dia senyum manis begitu mata kita ketemu.

“Hai Mas Mingyu!”

Gue balik nyapa dia gak kalah manis. Dan mungkin ini sapaan yang paling manis sepanjang sejarah gue.

“Udah siap?” Tanya dia, dan gue jawab dengan anggukan sekalian mempersilahkan dia untuk masuk sebentar, karena menurut gue agak gak etis ada tamu tapi gak disuruh masuk? Ya meskipun tujuan dia dateng buat ngajak gue jalan sih… tapi kan tetep aja?

“Mas masuk dulu sebentar.”

“Sini biar bolangnya sama saya.”

Dia menawarkan diri, gue tersenyum teringat dengan permintaan beliau yang pengin main sebentar sama si bolang.

“Lah mau dia?” Seratus persen gue heran, sebab kucing belang itu dengan antengnya digendong sama Mas Mingyu.

“Hahaha nurut gini kok dibilang nakal?”

“Mas, sumpah moment langkah.”

Dia ketawa kenceng banget. Gue speechless ketika dia beneran ngajak main si bolang dengan manjain tuh kucing pake jari-jarinya, ngangkat si bopang ke udara, dan mendengus bulu-bulu si bolang.

Ini gue boleh bilang kalo gue iri? Iya, gue juga mau. Mau, digituin Mas Mingyu. Eh. Sadar Wonwoo.

“Kamu beneran udah siap?”

“Udah.”

“Bolang ditinggal sendiri ya?”

“Iya. Bingung mau dititipin kemana. Emang lama ya?” dia terkekeh, dan tolong catat kalo gue gak bisa lihat senyuman semanis itu.

“Tergantung kamunya aja, mau gak lama-lama sama saya?” Dia balik bertanya yang buat gue menahan senyum— lebih tepatnya malu.

Malu! Pokoknya gue malu mampus gue mau kabur tolong.

“Mau aja sih.” Nyatanya jawaban gue jauh lebih malu-maluin.

Mas Mingyu pun meletakkan si bolang ke lantai. “Bagus kalo gitu, berarti kita ajak bolangnya. Deket kok.”

“Apa gak ngerepotin mas?”

Dia langsung geleng. “Nggak, Wonwoo. Yuk?”

Lagi-lagi dia menawarkan sebuah uluran tangan. Duh gue jadi inget moment di prau kemarin. Dan demi apapun gue masih salah tingkah pas nginget kejadian itu.

“Yuk?” Gue terima genggaman itu. Dan jadilah sepanjang perjalanan menelusuri lantai 15 sampai lobi, bahkan di dalam lift sekalipun tangan kita terpaut erat, dengan tangan dia satunya yang lagi gendong si bolang.

Nih udah kayak berkeluarga belum?

Kala Mimpi Menggoda

Kebetulan yang benar-benar sial, Laskara menggerutu kebanyakan di atas kasur. Matanya terus bergulir sesaat mencari celah bagaimana caranya keluar dari kebetulan buruk ini.

“Mandi cing, apa mau gue mandiin?”

Belum bertemu celah, keburukan itu sudah datang seakan menutupi jalan. “Bacot lu anjing!”

Angin terkekeh kencang, bukannya takut atau juga merasa sial Angin justru merasa kemenangan saat pembagian kamar dengan gulungan kertas dapat menyatukan dirinya dan Laskara di atas kasur berukuran king ini.

Handuknya masih terlilit sampai Laskara keluar dengan baju tidur berwarna biru tua berkain satin.

“Pake bajunya gak jing?”

Angin tak menggubris pria itu justru melempar ponselnya lalu mendekat ke arah Laskara yang tengah duduk di ujung dashboard kasur.

“Habis ini disuruh kumpul di gazebo belakang.”

Angin mengatakannya sembari terus mendekat, dan semakin memojokkan tubuh Laskara.

“Minggir gak?”

“Nonton apaansi serius amat.”

Tidak minat menuruti permintaan Laskara, Angin mengalihkan topiknya dengan turut menatap layar ponsel yang tengah di genggam tangan mungil itu.

“Minggir atau gue jambak?”

Bukannya takut, Angin malah semakin berani untuk menantang Laskara, tangannya bergerak dengan berani mencubit ujung hidung lelaki itu. Mata Laska terbelak.

“Sini gak lo! Angin!”

“Kejar kalo emang mau jambak gue Laskaraaaa!”

Angin meledek, dan terus berlari menghindar dari kejaran mini Laska. Ruangan ini tidak cukup luas untuk kejar-kejaran namun tangan Laska beberapa kali gagal menggapai tubuh bongsor Angin. Bahkan sekarang Angin sudah berdiri di atas kasur sembari menjulurkan lidahnya. Benar-benar setan.

“AH! SINI GAK LU KAMPRET!”

Angin turun, Laska naik. Dan saat hendak turun mengejar Angin lagi, tubuhnya terhuyung saat kakinya hilang kendali— adegan itu bak slowmotion dan bagaimana saat Angin menerima tubuh yang lebih kecil itu agar tidak jatuh menghantam lantai.

Dada keduanya menempel, dengan kain satin yang tipis Laska tentu dapat merasakan kulit Angin. Tangan besar Angin melingkar di perutnya— dengan jarak sedikit ini Laskara terlihat jauh lebih kecil.

Tatapan keduanya bertemu, Angin perlu sedikit menunduk untuk menatap Laska, hening beberapa detik saat Angin habiskan untuk melihat mata Laska penuh, sebelum jemari Laska menjalar ke arah surai lelaki bongsor di depannya ini.

“Sini lo anjinggg!”

Sesampainya di tujuan, Laska benar-benar menarik rambut Angin hingga ke akarnya, sang empu meringis kesakitan tangannya terus berusaha menyingkirkan jemari Laska dari rambutnya.

“Ah! Sakit Ka, udah. Anying!”

“Rasain!”

Keduanya masih terus bercengkrama, Laska benar-benar serius menjambak rambut Angin sampai-sampai Laska tak sadar bahwa dirinya sepenuhnya berada di bawah Angin —terlentang di atas kasur. Dan Angin yang tampak berusaha menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang berada di sisi tubuh Laska.

“Udah jambaknya?”

Laska memalingkan pandangannya. Jambakan itu berhenti tapi jemari Laska masih bertahan di sela-sela rambut basah Angin.

“Lo nyebelin!”

Tawa kecil Angin menghiasi kamar lantai satu itu. Dan Laska sangat membenci bagaimana Angin tertawa. “Lo cantik.”

Diam. Mereka hening dalam waktu yang cukup panjang. Laska diam-diam menelusuri wajah Angin, tegas, hidung mancung, ah jangan lupakan mole yang terletak di ujung hidung dan pipi sebelah kirinya.

Itu seperti titik yang tepat untuk dikecup… mungkin.

Angin pun sama, matanya tak bisa lepas dari struktur wajah gembul di depannya. Pipinya sedikit lebih terisi, bibirnya sehat memerah— terlihat jelas noda lip balm berwarna ceri disana.

Angin mulai bertindak lebih berani, tangan satunya terangkat menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi pandangan Laska. Tidak ada tolakan— Laska menikmatinya dengan sesekali menutup matanya.

Dalam benaknya kini mulai terbayang mimpi yang tak pernah absen dari sepermalam tidurnya. Potongan mimpi kecil yang entah dari mana dirinya dan Angin selalu tertawa bersama— mulai dari berjalan sembari menggenggam tangan di tengah koridor sekolah lengkap dengan seragam putih abu, menyusuri kota di tengah hujan sambil berpelukan mesra, bahkan menangis dalam pelukan Angin karena terlalu lelah. Semua mimpi itu seakan terasa nyata sampai rasanya Laska mulai membenci Angin sendiri.

Membenci karena setiap kali bertemu pandang, mimpi itu akan melintas dalam benaknya.

Mimpi-mimpi manis tapi Laska terasa asam baginya.

Namun sekarang otaknya penuh akan pertanyaan, saat tak sadar Laska mengingat satu mimpinya dimana keduanya tengah bercumbu mesra, saling melumat sampai menciptakan bunyi kecipak yang khas. Di mimpinya Laska terlihat menikmati bahkan selalu meminta lebih, selalu mendorong Angin guna memantik hasrat pemuda itu agar terus menjamah ranumnya. Mimpi kurang ajar yang mampu menghilangkan kewarasannya sewaktu ia terbangun dengan keadaan basah di bawah celananya.

“Laska, gue izinin lo kabur dalam hitungan ketiga.”

“Satu.”

Laska masih diam di tempatnya. Jemarinya kembali meremas rambut Angin, itu bukan jambakan karena Angin tidak merasakan sakit apapun. “Dua.”

Matanya bergulir kebingungan ia harus mengambil langkah seperti apa. Bibirnya masuk ke dalam untuk digigit tatapannya semakin menusuk ke arah Angin. Dia tau apa yang akan terjadi berikutnya.

Karena Angin sudah mendekat. Jarak mereka semakin menipis nafas keduanya sudah bercampur tenang menjadi satu.

“Tiga.”

Di hitungan ketiga, Angin mengecup bibirnya.

Kecupan singkat, tapi terasa begitu lamban. Ada rasa lengket saat Angin menyapa ranum merah itu. Dan ada rasa kering begitu bibir Angin mengecup miliknya. Mimpi itu semakin terus menghantui pikirannya.

Satu dari dua tangan Laskara turun, merogoh saku kecil di bajunya. Satu benda kecil berbentuk lonjong. Lip balm, membuka tutupnya lalu memutar sedikit hingga muncul ke permukaan. “Gue gak suka bibir kering.”

Angin menyeringai, menunggu apa yang akan Laskara buat dengan benda itu. Diam-diam Laska memperhatikan wajah Angin lagi, namun fokusnya hanya pada satu titik. Bibir kering itu.

“Gue jarang pake ini, soalnya gak ada warnanya. Kalo lo liat bibir gue merah, itu karena pake lip tint.”

Angin mengangguk kecil. “Lo cantik pake itu.”

“Thanks? Kayaknya gue lebih suka dipuji cantik timbang ganteng deh mulai sekarang.”

Kekehan kecil itu muncul lagi, Angin jadi sedikit mempertanyakan— apa benar laki-laki di depannya ini Laskara?

“Laskara ini lo bukan?”

Kin gantian tawa kecil Laska yang menghiasinya. “Iya ini Laskara.”

Ucapnya sambil mengoleskan lip balm bening itu ke bibir Angin, lelaki bongsor di atasnya menerima dengan baik— bahkan saat ibu jari Laskara turut mengusapnya dengan maksud membantu meratakannya.

“See? It’s getting better.”

Angin tidak melihat kondisi bibirnya sekarang, namun ia dapat merasakan bahwa ranumnya itu sedikit terasa lembab dan lengket. Jadi ia hanya mengangguk kecil.

“Disuruh kumpul jam berapa?” Tanya Laskara dan kembali menaruh jarinya di sela surai Angin.

“Delapan, dan gue cuma punya waktu lima menit dari sekarang buat nyium lo.”

Laska tertawa renyah. “Siapa yang bilang gue mau ciuman sama lo deh?”

Angin mengangkat alisnya, “Jadi gak mau dicium?”

Gelengan pelan Angin dapatkan, raut kecewanya tak bisa dihindari. Matanya dengan cepat berubah memelas. Sangat tercetak di wajahnya mampu membuat Laska menahan senyumnya.

“Sengebet itu lo ciuman sama gue?”

“Iya ngebet banget cing.”

Berdecak malas, ia lupa bahwa sedang berhadapan dengan Angin dan seribu ketengilannya.

Dan Laskara memilih tidak menjawab lagi, melainkan tangannya menekan kepala Angin agar mendekat lagi. Angin menurut perintah, membiarkan nafas Laska menerpa kulit wajahnya. Kedua insan itu masih terus detik yang berjalan membiarkan pikiran yang berkecamuk itu menikmati sedikit demi sedikit wangi udara yang melebur jadi satu.

“Ka! Laska! Angin! Keluar anjir lagi pada ngapain sih!”

Keduanya dengan serentak menoleh ke arah pintu. Untung terkunci, “Iya bentar!”

Bibir Angin mengerucut, tunggu. Ekspresi ini sangat mirip dengan mimpi Laska tempo hari— dimana dalam mimpi itu Angin menangis mengadu padanya.

Namun nyatanya mereka tetap bertahan di posisi, entah nyaman atau memang masih ada yang belum selesai. Tapi kini kesadaran Laska sudah kembali setidaknya tiga puluh persen jadi dia hanya tertawa.

“Pake bajunya, gue duluan.”

Sebelum benar-benar pergi Angin dengan cepat mendaratkan kecupan di pipi kanan Laskara cukup lama. “Nanti lanjut lagi.”

Laskara tertawa lagi dan lagi, ia juga tidak menjawab namun kecupan yang ia daratkan di ujung hidung dan pipi kiri Angin mungkin mampu menjawab semuanya, dan bagaimana saat sang empu tersenyum kecil akan tingkah mengejutkan Laskara yang mengecup tepat di tahi lalatnya terletak.

Patch me up, Love me too!

“Ngin, kalau otak kamu bisa dicuci pake mesin cuci, udah aku giling tuh dari dulu.”

Laska ngerutuk sambil ngelapin luka di sudut bibir Angin pake kapas alkohol. Tangannya sih lembut, tapi mukanya penuh kesel. Angin cuma nyengir, sama sekali nggak keliatan nyesel.

“Aku gak papa sayang.”

“Gitu aja terus ngalusnya!” Laska neken kapasnya agak kencengan, bikin Angin meringis. “Tawuran gini apa sih manfaatnya?”

Angin cuma bisa ngulik senyum “Gak ada Ka, aku juga mau kok keluar dari zona ini.”

Angin ngejatuhin punggungnya ke sandaran sofa, kepalanya miring buat lihat Laska lebih jelas.

“Aku makin gede juga sadar emang gak ada gunanya. Tapi percaya aja keluar dari hal yang udah jadi kebiasaan itu susah, susah banget.”

“Sekalipun buruk, tapi kalo dari sudut pandang aku masih anggep ini biasa bakalan susah.”

Tangan Laska yang tadinya sibuk nempelin plester di pipi Angin tiba-tiba berhenti. Dia ngeliatin Angin yang sekarang serius, nggak lagi ketawa-ketawa kayak tadi.

“Ka, aku sadar…” suara Angin lebih pelan, lebih hati-hati.

“Lingkungan aku tuh jauh dari kata baik kaya kamu, aku kebiasa ngelakuin hal sampah dari bocah, tawuran, ngerokok, mabok, dan mungkin faktor ini juga bikin aku lebih lepas sama orang yang emang buruknya kayak aku.” Angin ketawa kecil,

“Aku selalu takut buat lepas sama kamu karena latar kita beda jauh— tapi aku juga sadar sikap kaya gini tuh bikin kamu ngerasa nothing special for me ya?”

“Tapi aku mau makasih karena kamu bikin aku jadi belajar buat mulai ngomong, buat ngerti kalau aku nggak bisa terus-terusan nutup diri.”

“Aku sayang banget sama kamu Ka. Maaf ya, kedepannya aku bakal jadiin kamu tempat cerita aku, diterima ya Ka?”

Laska ngerasain sesuatu aneh di dadanya. Ada bangga, ada lega, tapi juga sedikit nyesek. Angin emang salah, tapi akhirnya dia berubah.

Laska ngebuang napas pelan sebelum tangannya naik, mijet kepala Angin lembut.

“Selalu diterima Angin.”

Angin ngasih senyum lembutnya begitu denger jawaban Laska terus dia balik lagi natep manik Laska yang sekarang duduk di sebelahnya, lagi ngerapihin peralatan kotak P3K.

Tiba-tiba, dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya, Angin nyeletuk, “Ka, cium boleh?”

Laska yang lagi nutup botol antiseptik langsung kaku, mengingat rumah ini sepi takut....

Angim miring dikit, nyender ke sandaran sofa, matanya penuh harapan. “Pipinya ngegoda banget minta dicium itu.”

Laska ngelirik Angin tajam, mukanya udah mulai memanas.

“Biasanya juga langsung nyosor.”

Angin ketawa, senang karena reaksinya Laska selalu semenyenangkan ini buat digoda. “Jadi boleh?”

Laska diem, matanya lari ke mana-mana, jari-jarinya malah sibuk mainin kotak P3K yang ada di pangkuannya. Udah jelas-jelas dia malu, tapi juga nggak ada usaha buat benar-benar nolak.

Angin nunggu, senyumnya makin lebar karena Laska yang keliatan malu-malu kucingnya. Terus, dengan suara lebih kecil, Laska akhirnya ngomong,

“Boleh.”

Nggak butuh diminta dua kali, Angin langsung nyuri kesempatan, ngecium pipi Laska pelan. Bukan ciuman heboh, bukan yang sengaja buat bikin Laska makin malu juga. Cuma kecupan lembut, singkat, tapi cukup buat Laska jadi lebih merah dari sebelumnya.

Angin mundur dikit, “Ternyata kamu imut banget kalau malu.”

Bibir Laska mengerut, dorong kepala Angin pake telapak tangannya. “DIEM!” Tapi senyum kecil di sudut bibirnya nggak bisa dia sembunyiin.

“Lagi gak?” Ngelunjak juga.

“Lagi yang banyak!” Lah????

“Sini sayang.”

Bubar, bubar.

PART I.

Dari kemarin upaya dia buat kabur dari Angin rupanya selalu gagal, dan hari ini selasa Pagi tepat jam tengah enam lebih motor aerox Angin udah keparkir di halaman rumah dia (Ibunya yang nyuruh masuk)

Gak kerasa jam udah 06.53 Laska yang sebenernya udah siap dari tadi baru berani keluar buat pake sepatu.

Dan Angin masih disitu, padahal Laska ngarep Angin pergi karena gak kuat nunggu dia siap-siap lama banget.

“Gak ada yang ketinggalan?”

Laska gak jawab, dan Angin ngerti kenapa begitu cuma senyum.

“Udah?” Diem, Laska cuma kasih kunci motornya bikin alis Angin ngangkat satu, gak paham.

“Kenapa? Pake motor kamu?”

Laska ngangguk kecil, “Kenapa gak pake motor aku.. udah ada spionnya kok.” Yang lebih kecil ngelirik buat mastiin.

Tapi sama aja, Laska gak suka sama joknya yang setinggi gunung itu.

Laska gak berubah dia tetep nyodorin kunci motornya nyuruh Angin buat ambil. Angin pasrah dan ngambil kuncinya.

Sepanjang perjalanan beneran aja yang ngomong cuma Angin. Sampe akhirnya tepukan cepat di pundak ngebuat dia berhenti ngoceh dan ngelirik kebelakang.

“Kenapa?”

Laska cuma jawab pake gestur jempol yang ngarah kebelakang.

“Ada yang ngikutin?” Laska geleng kepala.

“Ada yang ketinggalan?” Laska ngangguk.

Sementara Angin hela napas sabar, udah sejauh ini tapi Laskanya baru inget.

Angin mau gak mau puter balikin motornya.

“Lain kali kalo aku ngomong itu dengerin, udah siang loh Ka. Kalo kamu dihukum gimana? Kalo aku mah gapapa– tapi kamu selasa gini ada pelajaran matematika mau diskip emang?”

Laska puter bola matanya males.

Setelah sampe rumah Laska buru-buru masuk buat ambil berang yang ketinggalan.

“Udah mau jam tujuh sampe sana pasti udah ditutup.”

Dahi Laska mengkerut. “Jalan-jalan aja yuk? Sayang, aku gak maksa kalo kamu mau ayo kalo nggak yaudah kita ke sekolah.”

“Sekolah.” Satu kata yang keluar bikin Angin gak bisa bantah apapun.

Dan bener aja pas mereka dateng gerbang udah nutup full, padahal Laska tau Angin udah berusaha sengebut mungkin. Untungnya mereka gak sendiri, banyak murid lainnya. Laska celingukan nyari temen kelasnya siapa tau aja ada.

Dan dia bersyukur saat nemu motor beat strict punya Dewa.

“Dewa!” Yang punya nama noleh.

“Dih telat juga lu?”

Laska pergi ke arah Dewa dan ninggalin Angin.

“Ngapa lu telat sih Wa? Padahal gue mau minta buat lu jelasin materi mtk hari ini.”

“Enteng bener tuh mulut!”

“Dah sana! Pacar lo udah mrengut itu.”

Laska mendecih, “Bodo ah, males gue sama dia.”

“Masih aja berantem.”

Mereka lanjut ngobrol sementara Angin udah kaya cacing kepanasan liat gimana Laska banyak ngomongnya sama Dewa ketimbang sama dia.

“Gak papa salah gue.”

Crossing the Line, Hand in Hand.

Udah tiga bulan, Mingyu masih aja ngerasa semuanya aneh. Dia udah lama terbiasa hidup sendiri ngerantau jauh dari keluarga, makan minum sendirian, punya masalah kecil gedenya juga dia cari solusinya sendiri — tapi semenjak Wonwoo yang cuma bertahan kurang dari tiga bulan kerja sama dia kayanya udah berhasil bikin Mingyu jadi kecil.

Mingyu pikir situasi ini gak bakal bertahan lama alias ya udah. Selayaknya orang yang apa-apa dibantu sekarang harus apa-apa sendiri, terus juga Wonwoo gak lama banget kerja sama dia ya? Jadi Mingyu pikir kalo Wonwoo resign pun Mingyu masih bisa.

Bisa mati maksudnya.

Gak. Bercanda, harusnya sih ini gampang buat Mingyu — tapi sayang banget nih semesta kayanya emang demen banget nyulitin hidup Mingyu.

Frustasi Mingyu masih bingung dia nih lagi ngapain sih? Kenapa dia rela buang saldo e-toll yang tarifnya makin hari makin ngelunjak aja diliat-liat (kalo ini salahin pemerintah ya) cuma buat nyamperin Wonwoo yang ternyata lagi pulang kampung.

Jakarta-Surabaya, nyetir sendiri. Pake kolor adidas, sambil bawa tumbler yang isinya kopi luwak (gak sempet beli americano) terus jangan lupa dengerin lagu JKT48, sebuah rahasia gede yang Mingyu simpen baik-baik. Dia wota.

“AITAKATTA! AITAKATTA! AITAKATTA! YES!”

Fancant di mobil dia jabanin asal gak ngantuk aja udah, sembilan jam perjalanan ini kalo dia sampe tapi endingnya diusir, Wonwoo bakal dia seret bawa balik ke bali kayanya.

Gak kerasa dia udah mulai keluar tol. Buset ini kenapa jantung si Mingyu rasanya mau copot? Padahal kemarin-kemarin modusnya lancar bener kaya orang lagi nawarin pinjol.

Jika kusuka kan kukatakan suka, Tak kututupi kukatakan sejujurnya.

Lirik lagunya bikin Mingyu diem tiga detik. Natep jalanan lurus terus beralih ke arah maps yang nunjukin dia cuma butuh waktu lima belas menit lagi buat sampe ke Wonwoo.

“Gue ngapain sih?” Kan. Ketebak, emang cetek otaknya udah jalan sejauh ini dia masih nanya? Mingyu-Mingyu.

Sementara Wonwoo yang lagi gelisah-gelisahnya saat Mingyu ngabarin mau nyamperin dia ke surabaya — gimana enggak? Orang yang dia hindari setengah mati, tiba-tiba ambil keputusan sepihak buat nemuin dia.

“Mana sih! Katanya udah keluar tol?”

Wonwoo gak berhenti mondar-mandir depan pager rumahnya. Nih masalahnya, dia daritadi teleponin Mingyu yang ngangkat cuma mbak-mbak operator.

Beberapa menit kemudian BMW seri lawas yang udah nggak keliatan baru tapi masih keren, ngerem mendadak di pinggir jalan tepat sebrang rumah Wonwoo. Dan akhirnya, matanya nangkep satu sosok familiar.

Mingyu diem sebentar, ngerasain degup jantungnya yang nggak tau kenapa malah makin kenceng.

Dia turun dari mobil, nyebrang tanpa mikir dua kali. Di sana ada Wonwoo berdiri dengan hoodie abu-abunya, tangan masuk kantong, kepala agak nunduk.

Pas udah deket, Wonwoo akhirnya ngangkat kepala, tatapan mereka ketemu. Wonwoo ngeliat dia dengan ekspresi datar, kayak nggak kaget sama sekali, padahal hatinya mah udah was-was abis.

Mingyu narik napas. “Hi.”

Wonwoo ngeangkat alis dikit. “Mingyu otak lo tuh dangkal banget tau gak?!”

Mingyu diem sebentar, lalu ketawa kecil, lebih ke ketawa buat dirinya sendiri sih.

“Hehehe.”

Wonwoo ngelirik mobil Mingyu yang jelas-jelas masih panas abis perjalanan jauh.

“Beneran gak sih lo nyetir jakarta surabaya sendirian? Sembilan jam Mingyu. Lo gila ya.”

“Lo bilang lagi di Surabaya. Tiba-tiba gue udah di jalan ke sini.”

Wonwoo diem sebentar, lalu buang napas. “Ngapain sejauh itu buat ketemu gue?”

Mingyu nyengir, tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang dia sendiri nggak ngerti.

“Belum bisa jawab, coba lo bantu gue caru jawabannya.”

Wonwoo diam entah karena jawaban Mingyu atau karena sesuatu yang dia sendiri simpen. Mingyu ketawa, ngerasain panas kota ini lebih nyata, padahal hari udah hampir malem.

Nggak ada alasan jelas, nggak ada tujuan pasti. Tapi dia di sini.

Sama Wonwoo.

Wonwoo diem sebentar, nyari sesuatu di matanya Mingyu, tapi kayaknya nggak nemu jawaban yang dia cari.

“Cape?” tanya Wonwoo akhirnya.

Mingyu ngakak pendek. “Ya jelas, Won. Lo kira nyetir Jakarta-Surabaya tuh dari Cilodong ke Cimanggis.”

“Tapi lo tetep dateng dangkal.,” balas Wonwoo, suara datar tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang bikin Mingyu jadi ikut diem sebentar.

Dia ngelirik Wonwoo, lalu buang napas. “Iya. Gue tetep dateng.”

Angin Surabaya pelan, ngeloyorin ujung rambut mereka dikit. Jalanan nggak rame-rame banget, tapi cukup buat bikin mereka nggak ngerasa sendirian di tengah malam.

Wonwoo ngelirik jam di tangannya. “Udah malem, mau masuk gak?”

Mingyu berhenti gerak. Tatapan mereka ketemu sebentar sebelum Wonwoo buang muka lagi, matanya fokus ke depan buat nggiring masuk tamu yang gak di undang ini.

“Rumah sepi lagi pada pergi.”

Ya bagus lah.

Eh nggak, maksudnya.. ehm, bagus soalnya mereka jadi bebas — bebas ngobrol.

Mingyu ikutin langkah Wonwoo, rumah Wonwoo sederhana sih baginya. Gak yang neko-neko banget — tapi gak mempungkiri kagetnya Mingyu saat liat mobil fortuner dua sekaligus keparkir rapih di halaman rumah Wonwoo.

“Won gue gak ganggu lo kan? Maksud gue — kalo lo belum mau ketemu gue bilang.”

Wonwoo balik lagi sambil bawa teh anget dan apapun yang ada di dapur buat Mingyu.

“Terus kalo gue bilang gak mau, lo bakal balik ke Jakarta detik ini juga gitu?”

Elah, sok banget nih sih Wonwoo padahal dia sendiri yang bilang kalo Mingyu adalah orang yang sekarang dia hindarin setengah mati.

“Nggak, hehehe.”

Wonwoo diem sejenak, lalu mengangguk disusul ketawa kecilnya. “Lupain dah. Sekarang lo mau ngapain kesini gue nanya serius! Harus dijawab.”

“Kalo minta cium boleh emang?” Mingyu jawab ngaco yang bikin Wonwoo hampir aja nyemburin ludahnya sendiri.

“Mingyu!”

Mingyu ketawa kenceng, dan mendekat ke arah Wonwoo gak tau tujuannya ngapain badan Wonwoo udah kayak magnet yang narik Mingyu kuat.

“Wonwoo.” Lengan mereka aja udah sentuhan sangking deketnya, jantung Wonwoo gak usah ditanya.

Tiga bulan lamanya mereka kaya orang gak kenal, Wonwoo yang gak pernah sudi buat bales chat Mingyu se-excited dulu dan Mingyu yang rasanya excited sendirian. Gak apa, layak.

“Maaf.”

Wonwoo diem, matanya masih fokus ke depan. Tangannya udah mengepal di sisi tubuhnya, nahan semua perasaan yang udah numpuk tiga bulan ini. Mingyu ngelirik, nyari-nyari celah buat ngeyakinin Wonwoo kalau dia beneran nyesel.

“Gue beneran minta maaf,” suara Mingyu lebih pelan kali ini. “Gue salah.”

Wonwoo mendesah, akhirnya berani noleh, dan di situ Wonwoo liat mata Mingyu.

Mingyu gak tahan, tangannya maju, nyari tangan Wonwoo yang masih ngepal.

“Gue masih gak tau kenapa gue disini Wonwoo. Tapi, gue pernah ngucap, kalo nanti gue gak sengaja atau sengaja ketemu lo,”

“gue cuma mau bilang maaf.”

Wonwoo diem beberapa detik, sebelum akhirnya dia ngembus napas berat dan ngelemesin tangannya. “Lo gak salah, tapi ketikan lo terlalu nyakitin.”

Mingyu mengangguk ngakuin emang ketikan dia hari lalu terlampau jahat dan sebelum otaknya sempet nyusun kata-kata lagi— Wonwoo serasa makin dekat sama dia.

Pelan, Mingyu ngangkat tangannya, nyentuh pipi Wonwoo dengan hati-hati, takut kalau dia terlalu buru-buru, orang di depannya bakal kabur lagi, trauma dikit.

“Gue beneran nyesel Wonwoo,” bisiknya, hampir gak kedengeran.

Wonwoo diem, tapi dia juga gak menjauh padahal dia sadar gimana napas Mingyu udah nyampur sama dia.

Cium jangan?

Itu bukan suara Wonwoo aja, tapi Mingyu juga.

Dan akhirnya Mingyu nekat. Dia maju lebih deket, mencium ranum kecil yang Mingyu baru sadari kalo ada jejak basah di bibir itu.

Gerakan yang pelan banget—hati-hati, penuh rasa. Wonwoo gak langsung bales—tepatnya Wonwoo masih mencerna, tapi dia juga gak dorong Mingyu pergi. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia ngerespon, lebih lembut, lebih pelan, seakan lagi ngerasain semuanya perlahan-lahan.

Ciuman Mingyu bukan yang penuh nafsu, tapi yang nyimpen banyak hal—kerinduan, maaf, dan perasaan yang gak pernah terpikir, beda sama Wonwoo yang rasanya pengin Mingyu gerak lebih cepat.

“Lidah gue jangan digigit Wonwoo.”

Mingyu pikir, Wonwoo itu jago dalam hal ginian, ya karna tau sendiri gimana dulu Wonwoo gak punya malu buat minta cium. Tapi salah nyatanya Wonwoopayah banget.

“Lagi, Mingyu.”

Kini Wonwoo lebih santai sih, ngebiarin Mingyu ambil alih permainan jadi lebih nurut dan gak nuntut Mingyu buat lebih cepat.

Jemarinya bahkan udah nyelip di surai Mingyu mengusap lembut dan gak lupa juga buat dorong kepala itu biar ciuman ini lebih dalam.

“Mhmm..”

Pas akhirnya mereka saling melepaskan, Mingyu masih nyentuh pipi Wonwoo, jempolnya ngusap pelan di sana. Wonwoo ngeliatin dia dengan mata yang lebih tenang sekarang.

Wonwoo masih ngerasain sisa ciuman tadi pas matanya tiba-tiba ngelirik ke pojokan teras rumahnya. Hawa di belakang lehernya langsung merinding.

Dia langsung ngelepasin diri dari Mingyu, matanya membelalak.

“SEJAK KAPAN ADA CCTV?”

Wonwoo menelan ludah, buru-buru dia narik Mingyu, Mingyu nurut, buru-buru ngikutin Wonwoo, yang rupanya dibawa ke kamar Wonwoo.

Begitu udah di dalam, mereka saling liat, masih ngos-ngosan.

“Ayo lanjutin.” Mingyu berusaha ngatur napas.

“Hah?” Mingyu bingung.

“Hah?” Wonwoo juga bingung.

Sebelum akhirnya Mingyu sadar, ceilah. Minta dilanjutin nih ciumannya?

“Iya nanti dicium tapi gue butuh jawaban lo dulu.”

Mingyu narik diri buat duduk di kasur Wonwoo. “Dimaafin nggak?”

Wonwoo buang napas dan ngangguk kecil, “Maafin gue juga Mingyu.”

Senyuman lebar udah nangkring di bibir Mingyu, buru-buru dia raih tangan Wonwoo buat setelahnya dia ajak ke dekapannya.

Dan badannya yang jatuh ke atas kasur—disusul sama badan mungil Wonwoo yang ikut jatuh nindihin badan gede Mingyu.

Butuh waktu beberapa detik buat Mingyu atur posisi biar mereka bisa tiduran enak. Dengan cepat pula Wonwoo nempatin wajahnya ke dada Mingyu sandaran nyaman disana.

“Eh Mingyuarap, gue boleh nanya gak kita ini apa?”

“Jalanin dulu aja ya Wonwoo.”

Dan ya, nyatanya Mingyu masih harus mastiin apa yang dia rasa sama Wonwoo dulu buat memulai ke tahap selanjutnya. Juga Mingyu berharap Wonwoo ngerti apa yang dia maksud.

“Jangan lama-lama tapi.”

“Iya, Wonudisel.”

Akhirnya, perjalanan sembilan jam Mingyu gak sia-sia pinggang pegel, kaki kebas gara-gara duduk kelamaan. Tapi sekarang? Semua itu gak ada artinya.

Dia dapet ciuman. Dia dapet senyumnya Wonwoo.

Dan baru sekarang dia sadar— buset, ternyata dia sekangen itu. Bukan cuma suara Wonwoo yang udah jarang banget dia denger, tapi juga senyum kecil itu. Yang dulu sering banget dia liat tapi gak pernah kepikiran bakal sesusah ini dapet lagi.

Harus nempuh sembilan jam.

Kalo abis ini bilang gue gak ada effort, gue gibeng pala lu pada satu-satu

Capeknya, perjalanan jauhnya, semua kebayar lunas. Gak tau besok gimana, tapi buat sekarang, dia di sini. Bareng Wonwoo. Dan itu cukup.

Hehehe.

Crossing the Line, Hand in Hand.

Udah tiga bulan, Mingyu masih aja ngerasa semuanya aneh. Dia udah lama terbiasa hidup sendiri ngerantau jauh dari keluarga, makan minum sendirian, punya masalah kecil gedenya juga dia cari solusinya sendiri — tapi semenjak Wonwoo yang cuma bertahan kurang dari tiga bulan kerja sama dia kayanya udah berhasil bikin Mingyu jadi kecil.

Mingyu pikir situasi ini gak bakal bertahan lama alias ya udah. Selayaknya orang yang apa-apa dibantu sekarang harus apa-apa sendiri, terus juga Wonwoo gak lama banget kerja sama dia ya? Jadi Mingyu pikir kalo Wonwoo resign pun Mingyu masih bisa.

Bisa mati maksudnya.

Gak. Bercanda, harusnya sih ini gampang buat Mingyu — tapi sayang banget nih semesta kayanya emang demen banget nyulitin hidup Mingyu.

Frustasi Mingyu masih bingung dia nih lagi ngapain sih? Kenapa dia rela buang saldo e-tol yang tarifnya makin hari makin ngelunjak aja diliat-liat (kalo ini salahin pemerintah ya) cuma buat nyamperin Wonwoo yang ternyata lagi pulang kampung.

Jakarta-Surabaya, nyetir sendiri. Pake kolor adidas, sambil bawa tumbler yang isinya kopi luwak (gak sempet beli americano) terus jangan lupa dengerin lagu JKT48, sebuah rahasia gede yang Mingyu simpen baik-baik. Dia wota.

“AITAKATTA! AITAKATTA! AITAKATTA! YES!”

Fancant di mobil dia jabanin asal gak ngantuk aja udah, sembilan jam perjalanan ini kalo dia sampe tapi endingnya diusir, Wonwoo bakal dia seret bawa balik ke bali kayanya.

Gak kerasa dia udah mulai keluar tol. Buset ini kenapa jantung si Mingyu rasanya mau copot? Padahal kemarin-kemarin modusnya lancar bener kaya orang lagi nawarin pinjol.

Jika kusuka kan kukatakan suka, Tak kututupi kukatakan sejujurnya.

Lirik lagunya bikin Mingyu diem tiga detik. Natep jalanan lurus terus beralih ke arah maps yang nunjukin dia cuma butuh waktu lima belas menit lagi buat sampe ke Wonwoo.

“Gue ngapain sih?” Kan. Ketebak, emang cetek otaknya udah jalan sejauh ini dia masih nanya? Mingyu-Mingyu.

Sementara Wonwoo yang lagi gelisah-gelisahnya saat Mingyu ngabarin mau nyamperin dia ke surabaya — gimana enggak? Orang yang dia hindari setengah mati, tiba-tiba ambil keputusan sepihak buat nemuin dia.

“Mana sih! Katanya udah keluar tol?”

Wonwoo gak berhenti mondar-mandir depan pager rumahnya. Nih masalahnya, dia daritadi teleponin Mingyu yang ngangkat cuma mbak-mbak operator.

Beberapa menit kemudian BMW seri lawas yang udah nggak keliatan baru tapi masih keren, ngerem mendadak di pinggir jalan tepat sebrang rumah Wonwoo. Dan akhirnya, matanya nangkep satu sosok familiar.

Mingyu diem sebentar, ngerasain degup jantungnya yang nggak tau kenapa malah makin kenceng.

Dia turun dari mobil, nyebrang tanpa mikir dua kali. Di sana ada Wonwoo berdiri dengan hoodie abu-abunya, tangan masuk kantong, kepala agak nunduk.

Pas udah deket, Wonwoo akhirnya ngangkat kepala, tatapan mereka ketemu. Wonwoo ngeliat dia dengan ekspresi datar, kayak nggak kaget sama sekali, padahal hatinya mah udah was-was abis.

Mingyu narik napas. “Hi.”

Wonwoo ngeangkat alis dikit. “Mingyu otak lo tuh dangkal banget tau gak?!”

Mingyu diem sebentar, lalu ketawa kecil, lebih ke ketawa buat dirinya sendiri sih.

“Hehehe.”

Wonwoo ngelirik mobil Mingyu yang jelas-jelas masih panas abis perjalanan jauh.

“Beneran gak sih lo nyetir jakarta surabaya sendirian? Sembilan jam Mingyu. Lo gila ya.”

“Lo bilang lagi di Surabaya. Tiba-tiba gue udah di jalan ke sini.”

Wonwoo diem sebentar, lalu buang napas. “Ngapain sejauh itu buat ketemu gue?”

Mingyu nyengir, tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang dia sendiri nggak ngerti.

“Belum bisa jawab, coba lo bantu gue caru jawabannya.”

Wonwoo diam entah karena jawaban Mingyu atau karena sesuatu yang dia sendiri simpen. Mingyu ketawa, ngerasain panas kota ini lebih nyata, padahal hari udah hampir malem.

Nggak ada alasan jelas, nggak ada tujuan pasti. Tapi dia di sini.

Sama Wonwoo.

Wonwoo diem sebentar, nyari sesuatu di matanya Mingyu, tapi kayaknya nggak nemu jawaban yang dia cari.

“Cape?” tanya Wonwoo akhirnya.

Mingyu ngakak pendek. “Ya jelas, Won. Lo kira nyetir Jakarta-Surabaya tuh dari Cilodong ke Cimanggis.”

“Tapi lo tetep dateng dangkal.,” balas Wonwoo, suara datar tapi ada sesuatu di sana—sesuatu yang bikin Mingyu jadi ikut diem sebentar.

Dia ngelirik Wonwoo, lalu buang napas. “Iya. Gue tetep dateng.”

Angin Surabaya pelan, ngeloyorin ujung rambut mereka dikit. Jalanan nggak rame-rame banget, tapi cukup buat bikin mereka nggak ngerasa sendirian di tengah malam.

Wonwoo ngelirik jam di tangannya. “Udah malem, mau masuk gak?”

Mingyu berhenti gerak. Tatapan mereka ketemu sebentar sebelum Wonwoo buang muka lagi, matanya fokus ke depan buat nggiring masuk tamu yang gak di undang ini.

“Rumah sepi lagi pada pergi.”

Ya bagus lah.

Eh nggak, maksudnya.. ehm, bagus soalnya mereka jadi bebas — bebas ngobrol.

Mingyu ikutin langkah Wonwoo, rumah Wonwoo sederhana sih baginya. Gak yang neko-neko banget — tapi gak mempungkiri kagetnya Mingyu saat liat mobil fortuner dua sekaligus keparkir rapih di halaman rumah Wonwoo.

“Won gue gak ganggu lo kan? Maksud gue — kalo lo belum mau ketemu gue bilang.”

Wonwoo balik lagi sambil bawa teh anget dan apapun yang ada di dapur buat Mingyu.

“Terus kalo gue bilang gak mau, lo bakal balik ke Jakarta detik ini juga gitu?”

Elah, sok banget nih sih Wonwoo padahal dia sendiri yang bilang kalo Mingyu adalah orang yang sekarang dia hindarin setengah mati.

“Nggak, hehehe.”

Wonwoo diem sejenak, lalu mengangguk disusul ketawa kecilnya. “Lupain dah. Sekarang lo mau ngapain kesini gue nanya serius! Harus dijawab.”

“Kalo minta cium boleh emang?” Mingyu jawab ngaco yang bikin Wonwoo hampir aja nyemburin ludahnya sendiri.

“Mingyu!”

Mingyu ketawa kenceng, dan mendekat ke arah Wonwoo gak tau tujuannya ngapain badan Wonwoo udah kayak magnet yang narik Mingyu kuat.

“Wonwoo.” Lengan mereka aja udah sentuhan sangking deketnya, jantung Wonwoo gak usah ditanya.

Tiga bulan lamanya mereka kaya orang gak kenal, Wonwoo yang gak pernah sudi buat bales chat Mingyu se-excited dulu dan Mingyu yang rasanya excited sendirian. Gak apa, layak.

“Maaf.”

Wonwoo diem, matanya masih fokus ke depan. Tangannya udah mengepal di sisi tubuhnya, nahan semua perasaan yang udah numpuk tiga bulan ini. Mingyu ngelirik, nyari-nyari celah buat ngeyakinin Wonwoo kalau dia beneran nyesel.

“Gue beneran minta maaf,” suara Mingyu lebih pelan kali ini. “Gue salah.”

Wonwoo mendesah, akhirnya berani noleh, dan di situ Wonwoo liat mata Mingyu.

Mingyu gak tahan, tangannya maju, nyari tangan Wonwoo yang masih ngepal.

“Gue masih gak tau kenapa gue disini Wonwoo. Tapi, gue pernah ngucap, kalo nanti gue gak sengaja atau sengaja ketemu lo,”

“gue cuma mau bilang maaf.”

Wonwoo diem beberapa detik, sebelum akhirnya dia ngembus napas berat dan ngelemesin tangannya. “Lo gak salah, tapi ketikan lo terlalu nyakitin.”

Mingyu mengangguk ngakuin emang ketikan dia hari lalu terlampau jahat dan sebelum otaknya sempet nyusun kata-kata lagi— Wonwoo serasa makin dekat sama dia.

Pelan, Mingyu ngangkat tangannya, nyentuh pipi Wonwoo dengan hati-hati, takut kalau dia terlalu buru-buru, orang di depannya bakal kabur lagi, trauma dikit.

“Gue beneran nyesel Wonwoo,” bisiknya, hampir gak kedengeran.

Wonwoo diem, tapi dia juga gak menjauh padahal dia sadar gimana napas Mingyu udah nyampur sama dia.

Cium jangan?

Itu bukan suara Wonwoo aja, tapi Mingyu juga.

Dan akhirnya Mingyu nekat. Dia maju lebih deket, mencium ranum kecil yang Mingyu baru sadari kalo ada jejak basah di bibir itu.

Gerakan yang pelan banget—hati-hati, penuh rasa. Wonwoo gak langsung bales—tepatnya Wonwoo masih mencerna, tapi dia juga gak dorong Mingyu pergi. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia ngerespon, lebih lembut, lebih pelan, seakan lagi ngerasain semuanya perlahan-lahan.

Ciuman Mingyu bukan yang penuh nafsu, tapi yang nyimpen banyak hal—kerinduan, maaf, dan perasaan yang gak pernah terpikir, beda sama Wonwoo yang rasanya pengin Mingyu gerak lebih cepat.

“Lidah gue jangan digigit Wonwoo.”

Mingyu pikir, Wonwoo itu jago dalam hal ginian, ya karna tau sendiri gimana dulu Wonwoo gak punya malu buat minta cium. Tapi salah nyatanya Wonwoopayah banget.

“Lagi, Mingyu.”

Kini Wonwoo lebih santai sih, ngebiarin Mingyu ambil alih permainan jadi lebih nurut dan gak nuntut Mingyu buat lebih cepat.

Jemarinya bahkan udah nyelip di surai Mingyu mengusap lembut dan gak lupa juga buat dorong kepala itu biar ciuman ini lebih dalam.

“Mhmm..”

Pas akhirnya mereka saling melepaskan, Mingyu masih nyentuh pipi Wonwoo, jempolnya ngusap pelan di sana. Wonwoo ngeliatin dia dengan mata yang lebih tenang sekarang.

Wonwoo masih ngerasain sisa ciuman tadi pas matanya tiba-tiba ngelirik ke pojokan teras rumahnya. Hawa di belakang lehernya langsung merinding.

Dia langsung ngelepasin diri dari Mingyu, matanya membelalak.

“SEJAK KAPAN ADA CCTV?”

Wonwoo menelan ludah, buru-buru dia narik Mingyu, Mingyu nurut, buru-buru ngikutin Wonwoo, yang rupanya dibawa ke kamar Wonwoo.

Begitu udah di dalam, mereka saling liat, masih ngos-ngosan.

“Ayo lanjutin.” Mingyu berusaha ngatur napas.

“Hah?” Mingyu bingung.

“Hah?” Wonwoo juga bingung.

Sebelum akhirnya Mingyu sadar, ceilah. Minta dilanjutin nih ciumannya?

“Iya nanti dicium tapi gue butuh jawaban lo dulu.”

Mingyu narik diri buat duduk di kasur Wonwoo. “Dimaafin nggak?”

Wonwoo buang napas dan ngangguk kecil, “Maafin gue juga Mingyu.”

Senyuman lebar udah nangkring di bibir Mingyu, buru-buru dia raih tangan Wonwoo buat setelahnya dia ajak ke dekapannya.

Dan badannya yang jatuh ke atas kasur—disusul sama badan mungil Wonwoo yang ikut jatuh nindihin badan gede Mingyu.

Butuh waktu beberapa detik buat Mingyu atur posisi biar mereka bisa tiduran enak. Dengan cepat pula Wonwoo nempatin wajahnya ke dada Mingyu sandaran nyaman disana.

“Eh Mingyuarap, gue boleh nanya gak kita ini apa?”

“Jalanin dulu aja ya Wonwoo.”

Dan ya, nyatanya Mingyu masih harus mastiin apa yang dia rasa sama Wonwoo dulu buat memulai ke tahap selanjutnya. Juga Mingyu berharap Wonwoo ngerti apa yang dia maksud.

“Jangan lama-lama tapi.”

“Iya, Wonudisel.”

“Won! Udah lama?” Wonwoo menoleh, mendapati Mingyu —tunggu. Mingyu? Merah? Hah.

“Nggak juga.” Wonwoo cepat-cepat tersadar. Oh, rupanya Mingyu keluar rumah untuk mewarnai rambutnya menjadi merah.

Hari ini tepat seminggu sebelum kontrak kerjanya dan Mingyu berakhir, Wonwoo tidak menyesali keputusan impulsifnya itu.

Dan sejujurnya, kata-kata Mingyu masih berputar liar di benaknya.

“Masuk, kenapa bengong? Rambut gue lucu ya?” Wonwoo tidak menjawab, ia hanya berjalan melewati Mingyu.

“Gue bawa kue, lo mau Won?” tanya Mingyu, berdiri di ambang pintu studionya dan menatap Wonwoo yang tengah fokus dengan layar lebar di depannya.

“Udah kenyang.” Jawab Wonwoo singkat, sama sekali tidak menatap Mingyu.

“Won.” Panggil Mingyu lagi seakan ingin Wonwoo menatapnya.

“Gue udah pesan dua tiket ke Bali. Lo ikut ya?” Wonwoo menoleh.

“Gue sibuk bimbingan Mingyu. Cari orang lain.” Mingyu menggeleng, melangkah masuk dan berdiri di dekat kursi gaming yang Wonwoo duduki.

“Gue gak punya siapa-siapa lagi selain lo.” Mingyu merebut mouse dari genggaman Wonwoo, membuat lelaki itu mendesah pelan.

“Yaudah kalo gitu sendiri aja.” Jawaban itu cukup menyebalkan bagi Mingyu, tetapi ia tidak menyerah.

“Gue maunya sama lo Wonwoo, anggep aja ini hari terakhir sebelum lo gak kerja lagi sama gue.” Yang masih duduk melirik sekilas lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

Wonwoo menjadi kesal, apa yang diinginkan Mingyu? Waktu itu Mingyu menyuruhnya untuk tidak merasa terlalu dekat, dan sekarang? Lelaki itu bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling dekat.

“Bodoamat gue tetep gak mau.”

Mingyu tampak kesal, belum lagi Wonwoo yang kembali fokus pada komputer. “Dengein gue dulu Wonwoo.”

Tangan besar Mingyu berhasil memutar kursi itu hingga menghadapnya. “Apa lagi? Gue bilang gak–”

Tidak. Ini terlalu dekat untuk Wonwoo. Wajah mereka hanya berjarak satu inci, bahkan napas Mingyu berhasil masuk ke tenggorokannya.

“Minggir Mingyu!” Mingyu rupanya menahan kedua sisi kursi agar Wonwoo tidak bisa memutarnya. “Lo harus ikut sama gue.”

“Atas dasar apa gue harus ikut?” tanya Wonwoo sambil melotot ke arah yang Mingyu dengan kaki yang sudah gemetar tak terkendali.

“Karena lo masih manager gue.”

“Seminggu lagi gue udah gak kerja lagi sama lo.”

“Fine tiga hari aja.”

Wonwoo geram, bibirnya mengerucut, “Terserahlah, intinya gue gak mau! Minggir gue mau kerja Mingyu!”

Mingyu tidak menurut, dia hanya menatap Wonwoo sembari menelusuri wajah Wonwoo dari jarak sedekat ini.

“Apa gue harus cium lo dulu biar lo mau, Won?” Wonwoo membelalakkan matanya lalu menggelengkan kepalanya.

“Kalo gitu bagian mana yang harus gue cium—”

“Pipi? Hidung? Dagu? Dahi? Leher? Atau ini?” Tunjuknya pada ranum Wonwoo.

“Gue bilang lepasin Mingyu.” Mingyu tidak menggubris lagi, laki-laki itu tampak memutar otaknya. Memilih bagian mana yang harus ia kecup.

Benar, Mingyu memikirkannya.

“Pipi ya Won?” Mingyu mendekat, benar-benar hendak mendaratkan kecupan singkat pada pipi kiri Wonwoo.

“Kaki, cium kaki gue kalo lo mau brengsek!” Wonwoo mendorong tubuh Mingyu.

“Maaf.”

“Wonwoo.”

“Maafin, gue.”

“Mau lo apasih? Lo sendiri yang bilang kalo kita cuma strangers. Terus sekarang sikap lo begini?”

“Pulang tinggal pulang. Gak usah ngajak gue, gue cuma strangers yang lagi kerja sama lo.”

“Won, gue gak suka sama orang yang lelet sama kerjanya.”

Wonwoo menarik nafasnya. “Yaudah, sama aja lo gak suka sama gue kan? Terus ngapain lo berlutut supaya gue ikut lo pulang?”

“Lo tuh gak jelas.” Wonwoo menarik jaketnya dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Mingyu,

Meninggalkan lelaki itu dengan kebingungannya. “Ah ngentot!”

“Won! Udah lama?” Wonwoo menoleh, mendapati Mingyu —tunggu. Mingyu? Merah? Hah.

“Nggak juga.” Wonwoo cepat-cepat tersadar. Oh, rupanya Mingyu keluar rumah untuk mewarnai rambutnya menjadi merah.

Hari ini tepat seminggu sebelum kontrak kerjanya dan Mingyu berakhir, Wonwoo tidak menyesali keputusan impulsifnya itu.

Dan sejujurnya, kata-kata Mingyu masih berputar liar di benaknya.

“Masuk, kenapa bengong? Rambut gue lucu ya?” Wonwoo tidak menjawab, ia hanya berjalan melewati Mingyu.

“Gue bawa kue, lo mau Won?” tanya Mingyu, berdiri di ambang pintu studionya dan menatap Wonwoo yang tengah fokus dengan layar lebar di depannya.

“Udah kenyang.” Jawab Wonwoo singkat, sama sekali tidak menatap Mingyu.

“Won.” Panggil Mingyu lagi seakan ingin Wonwoo menatapnya.

“Gue udah pesan dua tiket ke Bali. Lo ikut ya?” Wonwoo menoleh.

“Gue sibuk bimbingan Mingyu. Cari orang lain.” Mingyu menggeleng, melangkah masuk dan berdiri di dekat kursi gaming yang Wonwoo duduki.

“Gue gak punya siapa-siapa lagi selain lo.” Mingyu merebut mouse dari genggaman Wonwoo, membuat lelaki itu mendesah pelan.

“Yaudah kalo gitu sendiri aja.” Jawaban itu cukup menyebalkan bagi Mingyu, tetapi ia tidak menyerah.

“Gue maunya sama lo Wonwoo, anggep aja ini hari terakhir sebelum lo gak kerja lagi sama gue.” Yang masih duduk melirik sekilas lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

Wonwoo menjadi kesal, apa yang diinginkan Mingyu? Waktu itu Mingyu menyuruhnya untuk tidak merasa terlalu dekat, dan sekarang? Lelaki itu bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling dekat.

“Bodoamat gue tetep gak mau.”

Mingyu tampak kesal, belum lagi Wonwoo yang kembali fokus pada komputer. “Dengein gue dulu Wonwoo.”

Tangan besar Mingyu berhasil memutar kursi itu hingga menghadapnya. “Apa lagi? Gue bilang gak–”

Tidak. Ini terlalu dekat untuk Wonwoo. Wajah mereka hanya berjarak satu inci, bahkan napas Mingyu berhasil masuk ke tenggorokannya.

“Minggir Mingyu!” Mingyu rupanya menahan kedua sisi kursi agar Wonwoo tidak bisa memutarnya. “Lo harus ikut sama gue.”

“Atas dasar apa gue harus ikut?” tanya Wonwoo sambil melotot ke arah yang Mingyu dengan kaki yang sudah gemetar tak terkendali.

“Karena lo masih manager gue.”

“Seminggu lagi gue udah gak kerja lagi sama lo.”

“Fine tiga hari aja.”

Wonwoo geram, bibirnya mengerucut, “Terserahlah, intinya gue gak mau! Minggir gue mau kerja Mingyu!”

Mingyu tidak menurut, dia hanya menatap Wonwoo sembari menelusuri wajah Wonwoo dari jarak sedekat ini.

“Apa gue harus cium lo dulu biar lo mau, Won?” Wonwoo membelalakkan matanya lalu menggelengkan kepalanya.

“Kalo gitu bagian mana yang harus gue cium—”

“Pipi? Hidung? Dagu? Dahi? Leher? Atau ini?” Tunjuknya pada ranum Wonwoo.

“Gue bilang lepasin Mingyu.” Mingyu tidak menggubris lagi, laki-laki itu tampak memutar otaknya. Memilih bagian mana yang harus ia kecup.

Benar, Mingyu memikirkannya.

“Pipi ya Won?” Mingyu mendekat, benar-benar hendak mendaratkan kecupan singkat pada pipi kiri Wonwoo.

“Kaki, cium kaki gue kalo lo mau brengsek!” Wonwoo mendorong tubuh Mingyu.

“Maaf.”

“Wonwoo.”

“Maafin, gue.”

“Mau lo apasih? Lo sendiri yang bilang kalo kita cuma strangers. Terus sekarang sikap lo begini?”

“Pulang tinggal pulang. Gak usah ngajak gue, gue cuma strangers yang lagi kerja sama lo.”

“Won, gue gak suka sama orang yang lelet sama kerjanya.”

Wonwoo menarik nafasnya. “Yaudah, sama aja lo gak suka sama gue kan? Terus ngapain lo berlutut supaya gue ikut lo pulang?”

“Lo tuh gak jelas.” Wonwoo menarik jaketnya dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Mingyu,

Meninggalkan lelaki itu dengan kebingungannya. “Ah ngentot!”