Let’s get lost in each other tonight.
Lima tahun lalu Meraki sangat awam akan masalah percintaannya. Ya meskipun sampai sekarang selalu begitu. Kata Aidan, Meraki itu orangnya tidak rumit, mau menerima siapa saja yang datang. Mau mencoba apapun yang terasa segar, semuanya Meraki lakukan untuk mencatat masa mudanya.
Umurnya kini menginjak dua puluh sembilan tahun. Tidak muda, cukup sekali untuk menikah bukan? Tapi di jaman sekarang tentu menikah bukan keputusan yang mudah. Duh kalau saja boleh jujur, Meraki tidak pernah terpikir untuk menikah. Sama sekali. Dia hanya ingin bersenang-senang dengan mencoba semua yang mendekat padanya.
Kalau untuk menikah… nanti saja, biar waktu yang mengubah mindsetnya itu.
Di usianya sekarang juga, kayaknya tidak berhasil mengubah sikapnya yang terlalu ingin muda selalu. Lihat saja, hampir kepala tiga tapi masih duduk di sebuah meja klub sambil menunggu seseorang yang lima tahun lalu menemani harinya untuk waktu yang singkat.
Meskipun, kata Aidan seseorang itu tergolong lama dalam menjalin kasih dengannya.
Matanya mendelisik ke arah sekitar, mencari-mencari sembari berharap kalau orang yang ia cari ada di satu atap dengannya malam ini.
“Ki, gue kesono dulu lu kalo mau join tinggal rangkul gue aja ntar, ok?”
Meraki mendengus, menyesal mengajak si Aidan ini. “Lu beneran liat dia gak sih nyet? Ngarang ya lu?”
Aidan memutar bola matanya. “Nekuk mulu tuh muka. Udah ah buru ikut gue aja. Yang lebih mantep disini juga banyak.”
Meraki akhirnya menurut, mengikuti langkah Aidan yang mengarah ke tengah kerumunan di lantai tengah sebuah klub yang semakin ramai itu. Beberapa menit terasa boring, sampai Meraki mulai terbawa suasana karena malam semakin larut. Bahkan kini dirinya sudah terpisah dengan Aidan.
Mata Meraki mulai sendu, mengerti dengan kadar Alkoholnya, akhirnya ia memilih mundur dan berniat kembali ke meja yang ia pesan. Tapi karena terlalu riuh, badannya yang sudah sedikit lemah itu mudah terdorong oleh orang-orang yang kekuatannya masih sebesar algojo jadilah tubuhnya itu bagai kacang kenari.
Dan belum sempat menahan bobotnya yang tak seberapa itu. Tubuhnya tiba-tiba hampir terhuyung jatuh, kalau saja— tidak ada dada besar yang menahan tubuhnya.
Dramatis, persis sekali dengan potongan film. Duh memalukan kalau menurut Meraki.
Dia menoleh melihat siapa laki-laki dengan wangi paling menyengat di tengah-tengah bau arak ini.
Dan, ini seperti takdir, bahkan persis seperti film yang pengarangnya sudah pasti jelas perempuan. Rupanya, di depannya ini orang yang menjadi alasannya menginjak kaki disini. Oh, god. Benarkah ini Saddam Pramdhani? Bocah dua puluh tahun yang ia kenal lima tahun lalu? Saddam, Adam. Sayang, kenapa tampan sekali?
“You okay?”
Mungkin Saddam tak mengenal dirinya, sebab gemerlap lampu diskotik yang memang cukup mengganggu pandangan.
Meraki menggeleng sebagai jawaban. Jadilah, Saddam merangkulnya sambil berjalan keluar dari zona kerumunan.
Penerangan sudah semakin jelas, karena mereka sudah duduk di meja Meraki. “Remember me?” Tanya Meraki saat Saddam membulatkan matanya begitu sadar siapa yang sedari tadi ia rangkul.
“Kak Sayan— sorry Kak Aki?”
Meraki terkekeh dan ia mengangguk. “Long time no see, Adam.”
“Gue kaget, lo berubah banget soalnya.”
Saddam menggaruk rambutnya. “Gitu deh Kak. Lo sendirian apa gimana?”
“Enggak sama Aidan tapi gak tau dah bocahnya dimana, lo sendiri?”
“Sendiri, hahaha.”
“Nyari partner ya?”
Saddam menggeleng keras, “Nggak. Cuma lagi berusaha akrab sama jakarta di jam dua belas ke atas aja.”
Meraki tertawa kencang. “Gak jauh beda kali sama Bali Dam. Malah lebih gacor disana gak sih?”
Saddam tampak mengangguk sambil tersenyum. “Gue baru pulang kesini minggu lalu Kak. Dapet job disini.”
“Ini in a good way or not?”
“Fifty-fifty lah.”
“Why not?”
“Hidup mulai serius.” Meraki tertawa lagi.
“Terus in good nya?”
“Ketemu lo.”
“Yang berubah tampangnya doang ternyata.” Meraki mendengus, dan keduanya semakin menempel seakan ada tarikan magnet sendiri untuk tangan Saddam melingkar di pinggangnya.
“Lo juga gak ada yang berubah. Gak menua, kalo lo bilang masih dua puluh satu tahun gue juga percaya aja.”
“Jauh banget. Gue udah hampir kepala tiga kali Dam.”
“Dan gue udah dua puluh lima tahun. Cukup gak kalo buat lo? Hahaha.”
Ah, Saddam benar-benar berubah ternyata. Tidak hanya tampangnya yang semakin mantap. Tapi perubahan tutur kata, suara, atau bahkan gerakan menggodanya yang cukup piawai itu sungguh membuat Meraki terkesima.
“Well let’s see what five years did to you.” Goda Meraki saat tau arah pembicaraan Saddam.
Dan begitu akhirnya saat ranum Saddam memagut bibirnya dengan lembut. Wah benar-benar nikmat untuk sebuah ciuman pembuka.
“I'm a good boy, right?” Saddam bertanya di sela ia mencium Meraki.
“You’re such a good boy.” Keduanya terkekeh manis, lalu Saddam memagut ranum itu lagi, diajaknya untuk dilumat dan dihisap. Dicicipinya rasa alkohol yang tertinggal, menangkap tengkuk Meraki untuk dituntun agar membalas dengan baik. Membiarkan jemari Meraki meremas surainya agar Saddam tau bahwa yang menikmati ciumannya bukan dirinya saja, melainkan Meraki yang semakin berani mendorongnya lebih dalam.
“Let’s get lost in each other tonight?”
“Where?”
“Anywhere, Kakak sayang.”