“Won! Udah lama?” Wonwoo menoleh, mendapati Mingyu —tunggu. Mingyu? Merah? Hah.
“Nggak juga.” Wonwoo cepat-cepat tersadar. Oh, rupanya Mingyu keluar rumah untuk mewarnai rambutnya menjadi merah.
Hari ini tepat seminggu sebelum kontrak kerjanya dan Mingyu berakhir, Wonwoo tidak menyesali keputusan impulsifnya itu.
Dan sejujurnya, kata-kata Mingyu masih berputar liar di benaknya.
“Masuk, kenapa bengong? Rambut gue lucu ya?” Wonwoo tidak menjawab, ia hanya berjalan melewati Mingyu.
“Gue bawa kue, lo mau Won?” tanya Mingyu, berdiri di ambang pintu studionya dan menatap Wonwoo yang tengah fokus dengan layar lebar di depannya.
“Udah kenyang.” Jawab Wonwoo singkat, sama sekali tidak menatap Mingyu.
“Won.” Panggil Mingyu lagi seakan ingin Wonwoo menatapnya.
“Gue udah pesan dua tiket ke Bali. Lo ikut ya?” Wonwoo menoleh.
“Gue sibuk bimbingan Mingyu. Cari orang lain.” Mingyu menggeleng, melangkah masuk dan berdiri di dekat kursi gaming yang Wonwoo duduki.
“Gue gak punya siapa-siapa lagi selain lo.” Mingyu merebut mouse dari genggaman Wonwoo, membuat lelaki itu mendesah pelan.
“Yaudah kalo gitu sendiri aja.” Jawaban itu cukup menyebalkan bagi Mingyu, tetapi ia tidak menyerah.
“Gue maunya sama lo Wonwoo, anggep aja ini hari terakhir sebelum lo gak kerja lagi sama gue.” Yang masih duduk melirik sekilas lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
Wonwoo menjadi kesal, apa yang diinginkan Mingyu? Waktu itu Mingyu menyuruhnya untuk tidak merasa terlalu dekat, dan sekarang? Lelaki itu bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling dekat.
“Bodoamat gue tetep gak mau.”
Mingyu tampak kesal, belum lagi Wonwoo yang kembali fokus pada komputer. “Dengein gue dulu Wonwoo.”
Tangan besar Mingyu berhasil memutar kursi itu hingga menghadapnya. “Apa lagi? Gue bilang gak–”
Tidak. Ini terlalu dekat untuk Wonwoo. Wajah mereka hanya berjarak satu inci, bahkan napas Mingyu berhasil masuk ke tenggorokannya.
“Minggir Mingyu!” Mingyu rupanya menahan kedua sisi kursi agar Wonwoo tidak bisa memutarnya. “Lo harus ikut sama gue.”
“Atas dasar apa gue harus ikut?” tanya Wonwoo sambil melotot ke arah yang Mingyu dengan kaki yang sudah gemetar tak terkendali.
“Karena lo masih manager gue.”
“Seminggu lagi gue udah gak kerja lagi sama lo.”
“Fine tiga hari aja.”
Wonwoo geram, bibirnya mengerucut, “Terserahlah, intinya gue gak mau! Minggir gue mau kerja Mingyu!”
Mingyu tidak menurut, dia hanya menatap Wonwoo sembari menelusuri wajah Wonwoo dari jarak sedekat ini.
“Apa gue harus cium lo dulu biar lo mau, Won?” Wonwoo membelalakkan matanya lalu menggelengkan kepalanya.
“Kalo gitu bagian mana yang harus gue cium—”
“Pipi? Hidung? Dagu? Dahi? Leher? Atau ini?” Tunjuknya pada ranum Wonwoo.
“Gue bilang lepasin Mingyu.” Mingyu tidak menggubris lagi, laki-laki itu tampak memutar otaknya. Memilih bagian mana yang harus ia kecup.
Benar, Mingyu memikirkannya.
“Pipi ya Won?” Mingyu mendekat, benar-benar hendak mendaratkan kecupan singkat pada pipi kiri Wonwoo.
“Kaki, cium kaki gue kalo lo mau brengsek!” Wonwoo mendorong tubuh Mingyu.
“Maaf.”
“Wonwoo.”
“Maafin, gue.”
“Mau lo apasih? Lo sendiri yang bilang kalo kita cuma strangers. Terus sekarang sikap lo begini?”
“Pulang tinggal pulang. Gak usah ngajak gue, gue cuma strangers yang lagi kerja sama lo.”
“Won, gue gak suka sama orang yang lelet sama kerjanya.”
Wonwoo menarik nafasnya. “Yaudah, sama aja lo gak suka sama gue kan? Terus ngapain lo berlutut supaya gue ikut lo pulang?”
“Lo tuh gak jelas.” Wonwoo menarik jaketnya dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Mingyu,
Meninggalkan lelaki itu dengan kebingungannya. “Ah ngentot!”