Kala Mimpi Menggoda

Kebetulan yang benar-benar sial, Laskara menggerutu kebanyakan di atas kasur. Matanya terus bergulir sesaat mencari celah bagaimana caranya keluar dari kebetulan buruk ini.

“Mandi cing, apa mau gue mandiin?”

Belum bertemu celah, keburukan itu sudah datang seakan menutupi jalan. “Bacot lu anjing!”

Angin terkekeh kencang, bukannya takut atau juga merasa sial Angin justru merasa kemenangan saat pembagian kamar dengan gulungan kertas dapat menyatukan dirinya dan Laskara di atas kasur berukuran king ini.

Handuknya masih terlilit sampai Laskara keluar dengan baju tidur berwarna biru tua berkain satin.

“Pake bajunya gak jing?”

Angin tak menggubris pria itu justru melempar ponselnya lalu mendekat ke arah Laskara yang tengah duduk di ujung dashboard kasur.

“Habis ini disuruh kumpul di gazebo belakang.”

Angin mengatakannya sembari terus mendekat, dan semakin memojokkan tubuh Laskara.

“Minggir gak?”

“Nonton apaansi serius amat.”

Tidak minat menuruti permintaan Laskara, Angin mengalihkan topiknya dengan turut menatap layar ponsel yang tengah di genggam tangan mungil itu.

“Minggir atau gue jambak?”

Bukannya takut, Angin malah semakin berani untuk menantang Laskara, tangannya bergerak dengan berani mencubit ujung hidung lelaki itu. Mata Laska terbelak.

“Sini gak lo! Angin!”

“Kejar kalo emang mau jambak gue Laskaraaaa!”

Angin meledek, dan terus berlari menghindar dari kejaran mini Laska. Ruangan ini tidak cukup luas untuk kejar-kejaran namun tangan Laska beberapa kali gagal menggapai tubuh bongsor Angin. Bahkan sekarang Angin sudah berdiri di atas kasur sembari menjulurkan lidahnya. Benar-benar setan.

“AH! SINI GAK LU KAMPRET!”

Angin turun, Laska naik. Dan saat hendak turun mengejar Angin lagi, tubuhnya terhuyung saat kakinya hilang kendali— adegan itu bak slowmotion dan bagaimana saat Angin menerima tubuh yang lebih kecil itu agar tidak jatuh menghantam lantai.

Dada keduanya menempel, dengan kain satin yang tipis Laska tentu dapat merasakan kulit Angin. Tangan besar Angin melingkar di perutnya— dengan jarak sedikit ini Laskara terlihat jauh lebih kecil.

Tatapan keduanya bertemu, Angin perlu sedikit menunduk untuk menatap Laska, hening beberapa detik saat Angin habiskan untuk melihat mata Laska penuh, sebelum jemari Laska menjalar ke arah surai lelaki bongsor di depannya ini.

“Sini lo anjinggg!”

Sesampainya di tujuan, Laska benar-benar menarik rambut Angin hingga ke akarnya, sang empu meringis kesakitan tangannya terus berusaha menyingkirkan jemari Laska dari rambutnya.

“Ah! Sakit Ka, udah. Anying!”

“Rasain!”

Keduanya masih terus bercengkrama, Laska benar-benar serius menjambak rambut Angin sampai-sampai Laska tak sadar bahwa dirinya sepenuhnya berada di bawah Angin —terlentang di atas kasur. Dan Angin yang tampak berusaha menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang berada di sisi tubuh Laska.

“Udah jambaknya?”

Laska memalingkan pandangannya. Jambakan itu berhenti tapi jemari Laska masih bertahan di sela-sela rambut basah Angin.

“Lo nyebelin!”

Tawa kecil Angin menghiasi kamar lantai satu itu. Dan Laska sangat membenci bagaimana Angin tertawa. “Lo cantik.”

Diam. Mereka hening dalam waktu yang cukup panjang. Laska diam-diam menelusuri wajah Angin, tegas, hidung mancung, ah jangan lupakan mole yang terletak di ujung hidung dan pipi sebelah kirinya.

Itu seperti titik yang tepat untuk dikecup… mungkin.

Angin pun sama, matanya tak bisa lepas dari struktur wajah gembul di depannya. Pipinya sedikit lebih terisi, bibirnya sehat memerah— terlihat jelas noda lip balm berwarna ceri disana.

Angin mulai bertindak lebih berani, tangan satunya terangkat menyingkirkan beberapa anak rambut yang menghalangi pandangan Laska. Tidak ada tolakan— Laska menikmatinya dengan sesekali menutup matanya.

Dalam benaknya kini mulai terbayang mimpi yang tak pernah absen dari sepermalam tidurnya. Potongan mimpi kecil yang entah dari mana dirinya dan Angin selalu tertawa bersama— mulai dari berjalan sembari menggenggam tangan di tengah koridor sekolah lengkap dengan seragam putih abu, menyusuri kota di tengah hujan sambil berpelukan mesra, bahkan menangis dalam pelukan Angin karena terlalu lelah. Semua mimpi itu seakan terasa nyata sampai rasanya Laska mulai membenci Angin sendiri.

Membenci karena setiap kali bertemu pandang, mimpi itu akan melintas dalam benaknya.

Mimpi-mimpi manis tapi Laska terasa asam baginya.

Namun sekarang otaknya penuh akan pertanyaan, saat tak sadar Laska mengingat satu mimpinya dimana keduanya tengah bercumbu mesra, saling melumat sampai menciptakan bunyi kecipak yang khas. Di mimpinya Laska terlihat menikmati bahkan selalu meminta lebih, selalu mendorong Angin guna memantik hasrat pemuda itu agar terus menjamah ranumnya. Mimpi kurang ajar yang mampu menghilangkan kewarasannya sewaktu ia terbangun dengan keadaan basah di bawah celananya.

“Laska, gue izinin lo kabur dalam hitungan ketiga.”

“Satu.”

Laska masih diam di tempatnya. Jemarinya kembali meremas rambut Angin, itu bukan jambakan karena Angin tidak merasakan sakit apapun. “Dua.”

Matanya bergulir kebingungan ia harus mengambil langkah seperti apa. Bibirnya masuk ke dalam untuk digigit tatapannya semakin menusuk ke arah Angin. Dia tau apa yang akan terjadi berikutnya.

Karena Angin sudah mendekat. Jarak mereka semakin menipis nafas keduanya sudah bercampur tenang menjadi satu.

“Tiga.”

Di hitungan ketiga, Angin mengecup bibirnya.

Kecupan singkat, tapi terasa begitu lamban. Ada rasa lengket saat Angin menyapa ranum merah itu. Dan ada rasa kering begitu bibir Angin mengecup miliknya. Mimpi itu semakin terus menghantui pikirannya.

Satu dari dua tangan Laskara turun, merogoh saku kecil di bajunya. Satu benda kecil berbentuk lonjong. Lip balm, membuka tutupnya lalu memutar sedikit hingga muncul ke permukaan. “Gue gak suka bibir kering.”

Angin menyeringai, menunggu apa yang akan Laskara buat dengan benda itu. Diam-diam Laska memperhatikan wajah Angin lagi, namun fokusnya hanya pada satu titik. Bibir kering itu.

“Gue jarang pake ini, soalnya gak ada warnanya. Kalo lo liat bibir gue merah, itu karena pake lip tint.”

Angin mengangguk kecil. “Lo cantik pake itu.”

“Thanks? Kayaknya gue lebih suka dipuji cantik timbang ganteng deh mulai sekarang.”

Kekehan kecil itu muncul lagi, Angin jadi sedikit mempertanyakan— apa benar laki-laki di depannya ini Laskara?

“Laskara ini lo bukan?”

Kin gantian tawa kecil Laska yang menghiasinya. “Iya ini Laskara.”

Ucapnya sambil mengoleskan lip balm bening itu ke bibir Angin, lelaki bongsor di atasnya menerima dengan baik— bahkan saat ibu jari Laskara turut mengusapnya dengan maksud membantu meratakannya.

“See? It’s getting better.”

Angin tidak melihat kondisi bibirnya sekarang, namun ia dapat merasakan bahwa ranumnya itu sedikit terasa lembab dan lengket. Jadi ia hanya mengangguk kecil.

“Disuruh kumpul jam berapa?” Tanya Laskara dan kembali menaruh jarinya di sela surai Angin.

“Delapan, dan gue cuma punya waktu lima menit dari sekarang buat nyium lo.”

Laska tertawa renyah. “Siapa yang bilang gue mau ciuman sama lo deh?”

Angin mengangkat alisnya, “Jadi gak mau dicium?”

Gelengan pelan Angin dapatkan, raut kecewanya tak bisa dihindari. Matanya dengan cepat berubah memelas. Sangat tercetak di wajahnya mampu membuat Laska menahan senyumnya.

“Sengebet itu lo ciuman sama gue?”

“Iya ngebet banget cing.”

Berdecak malas, ia lupa bahwa sedang berhadapan dengan Angin dan seribu ketengilannya.

Dan Laskara memilih tidak menjawab lagi, melainkan tangannya menekan kepala Angin agar mendekat lagi. Angin menurut perintah, membiarkan nafas Laska menerpa kulit wajahnya. Kedua insan itu masih terus detik yang berjalan membiarkan pikiran yang berkecamuk itu menikmati sedikit demi sedikit wangi udara yang melebur jadi satu.

“Ka! Laska! Angin! Keluar anjir lagi pada ngapain sih!”

Keduanya dengan serentak menoleh ke arah pintu. Untung terkunci, “Iya bentar!”

Bibir Angin mengerucut, tunggu. Ekspresi ini sangat mirip dengan mimpi Laska tempo hari— dimana dalam mimpi itu Angin menangis mengadu padanya.

Namun nyatanya mereka tetap bertahan di posisi, entah nyaman atau memang masih ada yang belum selesai. Tapi kini kesadaran Laska sudah kembali setidaknya tiga puluh persen jadi dia hanya tertawa.

“Pake bajunya, gue duluan.”

Sebelum benar-benar pergi Angin dengan cepat mendaratkan kecupan di pipi kanan Laskara cukup lama. “Nanti lanjut lagi.”

Laskara tertawa lagi dan lagi, ia juga tidak menjawab namun kecupan yang ia daratkan di ujung hidung dan pipi kiri Angin mungkin mampu menjawab semuanya, dan bagaimana saat sang empu tersenyum kecil akan tingkah mengejutkan Laskara yang mengecup tepat di tahi lalatnya terletak.