Secrets of the night jangan berekspetasi by.
—
Kalau ada yang tanya gimana rasanya hidup sama orang yang dimana kita adalah cinta pertamanya, mungkin cuma Laska yang bisa jawab. Bukan sombong, tapi kenyataan.
Bahagia.
Jawaban yang bisa menyimpulkan segala frasa positif maupun negatif setelah berbulan-bulan menjalani hidup dengan status pernikahan.
Mungkin dari kalian akan ada yang bilang. Ini baru awal, belum dua tahun berikutnya, lima tahun setelahnya. Dan tahun-tahun yang akan datang.
Tapi Laska gak ambil pusing, dia percaya bahwa yang terjadi sama orang lain, gak semestinya juga ia rasakan.
Pula, percaya sama masa depan yang belum pasti aja itu udah salah.
Apalagi masa depan buruk.
Cukup dua hal yang Laska percaya, pertama; Tuhan, kedua; Arus yang terkadang gak mulus.
Hidup di dunia ini tuh gak akan selancar ombak buatan, percaya deh.
Oke stop.
Fokusnya kini sama dada Angin yang terekspos begitu bebas, pemuda itu tengah menatap layar macbook; bekerja.
Kini Angin udah jauh beda dari pemuda yang dia kenal sepuluh tahun lalu.
But still, he's mine, my boyfriend, my fiance, my husband.
“Aku udah di samping kamu, tapi di depan kamu masih ada dia? Cih.”
Laska nih pinter banget cari perhatian, pokoknya selama fokus Angin bukan ke dirinya, dia akan ngelakuin segala cara buat alihkan perhatian Angin.
Termasuk, nutupin benda itu dan diletakan di meja.
Dan mengalihkan tubuhnya untuk bersandar pada dada besar suaminya. Catat, suaminya.
Siap dicatat.
“Iya maaf, tadi cuma ngecek email aja.”
Dan Anginnya yang gak akan pernah nolak kalau Laskanya mode begini.
Lagian mana bisa? Gak akan bisa.
“Aku dicuekin.” Kan, suaranya yang sengaja di imutin ngebikin Angin tertawa.
“Nggak sayang, kan ini udah gak ada dia adanya kamu sekarang.”
Gak dijawab, kepalanya cuma fokus ndusel-ndusel aja udah. Sampe pengin merem rasanya kalau aja Angin gak nangkup kepalanya.
“Masih ngambek?”
“Enggak.” Jawab dia masih bertahan di posisinya.
“Angin..”
“Ehm? Kenapa sayang?”
Laska geleng kepala, seolah enggan menjawab padahal dirinya yang memanggil Angin.
“Ka kenapa?”
Tapi Laska ini selain pinter caper ia juga pinter akting mancing.
Udah jago akting, jago mancing, jago kencing pula.
Dengan segala kewarasannya, dia cuma jawab lewat lumatan bibir. Gak expect kalau lumatan itu berubah menuntut.
Angin membalasnya, dan Laska senyum kemenangan di balik ciuman itu. Angin pikir kalau Laska mode seperti ini pasti hal ini yang diminta.
Terhitung terakhir mereka bermain adalah tiga hari yang lalu, dan sekarang Laska tampak menginginkannya lagi.
Dicium, dikoyak sampai bengkak, hingga liur mereka saling bercampur padu.
“Sayang.” Suara Angin terdengar serak, seolah memperingati Laska agar lebih santai.
“Eungh.”
Kalau udah gini, gak ada yang bisa Angin lakuin selain mendorong tubuh Laska dengan dirinya yang perlahan melucuti pakaian Laska, kaos putih polos berhasil di eksekusi sekarang tangannya turun berniat melepas celana tidur itu, namun saat hendak menarik tangan Laska buru-buru menahannya.
“Wait.”
Apalagi.
Laska beranjak, jalan menuju lemari yang terisi pakaian dirinya dan Angin.
Angin menaikan alisnya, tatkala Laska justru melucuti dirinya sendiri. Oh, Angin menggeleng sembari tertawa, benar-benar di luar dugaan.
Celana tidurnya ditarik hingga ke bawah, lalu rok mini berwarna pink menjadi penggantinya.
Konyol sekali memang, tapi inilah kebiasaan buruk seorang Laskara— bahkan pria itu sudah memiliki setidaknya lima rok, dan yang dikenakan sekarang; tunggu biar Angin tebak.
Ah baru lagi rupanya.
“Cantik banget sayang.”
Tanpa bertanya, sudah ada lontaran manis yang keluar, pantes Laska demen pake ginian.
“Diantara yang lain kamu lebih suka yang mana Angin?”
Baiklah, rupanya Laskara masih punya sejuta pertanyaan untuk Angin.
“Red.”
Angin mengingat jelas sewaktu pertama kalinya Laskara memakai rok merah yang sepertinya tidak berfungsi dengan baik, sangat pendek bahkan tidak mampu menutupi Dua bongkahan mulusnya, poin plusnya ketika rok itu terlihat mentereng, sangat amat menggambarkan Laskara ketika bercinta.
“Yang ini kalah berarti?”
Aku yang kalah Laskara.
“It's good sayang, but i love red more.”
More, more than anything. Mau warna paling langkah sekalipun si mini merah akan tetap jadi pemenang baginya.
“Apa karena si merah itu pertama kalinya aku pake di depan kamu?”
Itu termasuk, tapi bukan yang utama.
“Red is you, Laskara. Minta dirojok lebih tapi giliran diturutin nangis, gak diturutin milih gerak sendiri. Aku kadang bingung, maunya kamu tuh aku bikin kayak gimana, hm?”
Angin berdiri di hadapan Laskara, sang empu tampak menyeringai lalu kakinya berjinjit untuk membisikkan sesuatu.
“Mau dipenuhin perutnya pake peju kamu.”
Damn, terdengar jorok tapi senyuman lebar Angin tanggapi sebelum akhirnya ranum mereka kembali bertemu. Saling memagut, melahap habis, hingga bunyi kecapan dan lenguhan menjadi syahdu paling lembut malam ini.
Diangkatnya tubuh kecil itu, menahan kaki Laskara yang sudah melingkar kuat di pinggangnya. Ciuman terus berlanjut hingga Angin dibawa duduk pada kasurnya. Jejak basah menyebar di seluruh tengkuk lehernya selagi ciuman itu turun, di atas pangkuan itu Laskara tak bisa berdiam diri tubuhnya semakin maju mendesak Angin, hingga terasa sewaktu penisnya menabrak gundukan besar— Laskara menggesek-gesek batang penisnya dengan tergesah disana.
“Lagi, lagi.”
Spot paling Laska gemari, susunya disedot. Diputar-putar sampai melayang, dicubit-cubit hingga kepayang.
Angin menjedanya, untuk menatap manik Laskara di atasnya.
“Yang kamu minta itu hal gampang Laskara, gimana kalau kita bikin susunya keluar beneran?”
Laska dilempar gitu aja dan Angin yang melucuti celananya sendiri. Penisnya menjulang begitu saat dikeluarkan dari bilik celana dalamnya. Menelan ludah kasar sewaktu bertemu pandang dengan daging berurat itu.
Ngapa jadi gede banget anjing.
“Lubang kamu yang bikin dia jadi gede.”
Laska memalingkan wajahnya, merasa malu dengan perkataan jorok Angin. Naik ke atas ranjang, mengungkung tubuh Laskara– dikecupnya bibir yang mulai membengkak itu.
Angin kerahkan dua jarinya masuk ke dalam rongga mulut Laska, mengobok-obok seisinya, meminta dikulum hingga basah layaknya celana dalam di bawah sana.
Mulutnya begitu lihai mengulum dua jemari besarnya, hingga tak sadar akan presensi jari Angin lainnya yang tengah menurunkan celana dalam miliknya; roknya dipertahankan begitu saja.
“Eugh!” Ia keluarkan dua jemari itu hanya untuk merintih nikmat, sebab Angin sudah meremas batang penisnya.
“Aku gak nyuruh kamu keluarin Laskara.” Yang awalnya hanya dua biji, sekarang bertambah satu.
Mulut Laska penuh, tak bisa memberontak atau bahkan mendesah, Angin begitu cepat mengocok penisnya. Gerakan tangannya naik turun begitu handal.
Kakinya dibawa ke atas pundak, bergetar begitu hebat seakan tidak punya pilihan lain ia menarik jemari Angin keluar secara paksa.
“Emhhm aku mau kelua–anghhh!”
“Angin! Angin! Angin! Udah! Udah!”
Kocokan pada penisnya semakin sensitif, demi apapun semuanya terasa begitu memabukkan, tubuhnya bergetar tak terkendali.
“Eumnghhh.”
Keluar sudah cairan putihnya yang langsung menyemprot persis di penis Angin.
Tidak ada jeda Angin membalikkan tubuh Laska dan menariknya agar menungging, Laska bersiap diri menarik bantal sebagai sanggahannya. Dasarnya sudah ganas, dengan penuh pengertian Laska semakin menaikkan pinggulnya mempersilahkan Angin menjelajah analnya lebih dalam.
Ia sibak rok merah mudanya yang menghalangi jalan akses surganya. “Kenapa tetep sempit ya sayang? Padahal kontol aku udah segede gini tapi anal kamu kok rasanya kayak kurang terus.”
“Apa harus ditambah dua jari?”
Mau, Laska mau, buatlah lubangnya selebar mungkin.
“Terserah, pake lubang aku sepuas kamu.”
Masih bisa jawab. Hebat sekali Laskara ini.
Baiklah, sepertinya kali ini gak akan ada proses menggunting, kita pake aja benda panjang besar itu.
Liurnya ia andalkan sebagai pelumas sebelum menerobos masuk tanpa permisi, Laskara membulat, apa-apaan ini!
“AKHGGG!”
Sekali hentak, belum masuk sepenuhnya, dua kali hentak yang terjadi justru teriakan Laska semakin keras.
Dan jleb! Hentakan ketiganya penis besar itu masuk sepenuhnya, kaki Laskara bergetar bukan main, belum lagi Angin yang menggerakan pinggulnya langsung.
Benar-benar menyiksa.
“Angin! Angin!”
Ribuan kali Laska memanggil namanya, dan semakin tinggi maka akan semakin cepat genjotan itu, maju mundur tak karuan, mencari titik nikmat yang selalu menjadi spot utamanya.
“Angin please dalem banget—mmnh”
Kan, nangis.
Angin memutar kembali tubuh Laska tanpa melepas tautan penisnya, ini terasa begitu ngilu.
“Hey, mau udahan aja?”
Ya dasarnya Angin tetep aja Angin. Gak tega.
“No, do it, sesuai yang aku bilang pake aku sepuas kamu.” Kan, kan, kan.
Kalo habis ini Angin gak nurut mungkin Laska akan milih buat genjot penisnya mandiri. Angin bisa menjamin itu.
“Laskara, sayang, look at me.”
Menurut manatapnya, “Cantik, cantik banget kesayangan aku.”
Mungkin, wajahnya bisa kalah merah dengan warna rok favorite Angin.
“Angin…”
“Love you, love you, love you more Laskara.”
Tanpa menunggu jawaban, Angin angkat kaki Laskara ke pundaknya, “Fuck!”
Pertama kalinya, Angin mengumpat. Tubuh Laska kian bergidik ngeri, belum lagi genjotan pada lubangnya terasa sangat dalam dan begitu cepat.
Penis Angin berdansa disana, maju mundur tak karuan, Angin tarik keluar sebentar untuk ia hentakkan kembali.
“Ah! Ah! Ah!”
Racauan Laska sudah hampir reda sebab tangan Angin yang ikut masuk ke dalam lubangnya.
Kacau.
“Dua jari pun masih muat Laskara.”
Dua jari, ekstra kontol Angin yang terasa begitu sesak di lubangnya.
“Angin-keluar angh keluarin!”
Tidak peduli, toh katanya boleh dipakai sepuasnya?
Laska semakin gemetar, mencari apapun untuk ia remas. Dasarnya Angin sudah tau dimana titik-titik nikmat Laskara, ia lancarkan tangannya untuk memilin puting yang tak lagi memerah, disana hanya menyisakan sebuah bekas gigitan taring dan tentu saja Angin pelakunya.
“No! Angin!”
Menolak padahal meminta lebih. Berteriak padahal meminta lagi.
Licik.
Dua jari yang awalnya hanya dicepit, kini mulai bergerak selayaknya gunting tajam.
Habis sudah Laskara malam ini, dipakai sepuasnya, semaunya, selonggar-longgarnya.
Desahan Laskara bagai sorak sorai yang terlantun indah, menjuru ke seluruh ruangan. Lagi, Angin keluarkan penisnya untuk dihentak masuk seperti hendak merusak segala-galanya.
Laska menahan rintihannya kepalanya terlempar ke belakang, “Ah! enak banget sayang hngh!”
Aliran darahnya menderas tatkala cairan putihnya keluar mengalir perlahan di dalam anal Laska. Si empu hampir tersedak air liurnya sendiri sewaktu merasakan semprotan hangat yang menyapa dinding perutnya.
Kembali merangkak ke atas setelah mencabut kontolnya, Angin tatap wajah Laska yang basah kuyup akan keringat.
“Nungging.”
Ngapain? Ini Angin gak liat lemesnya Laskara habis digenjot disodok tanpa ampun?
Tololnya, Laska nurut. Kelewat lemes apa gimana lututnya gemetar begitu ngebuat tangan Angin bekerja ekstra menahan kaki Laska.
Di hadapannya sudah ada lubang Laska yang siap menjepit benda apapun yang masuk kesana, Angin gesek pelan jarinya disana, hanya gesekan tapi rasanya Laskara hampir roboh kalau aja tangan Angin gak nahan pahanya.
Berkedut seakan meminta dimasuki, tapi Angin masih enggan—ia ingin bermain-main sebentar.
“Hnggg kenapa cuma diliatin.”
“Kaki kamu masih gemeter gini gimana aku tega?”
Angin ngomong gitu sadar gak sih?
Gak tega, tapi gerakan jarinya bikin Laska frustasi. Frustasi banget sampe rasanya dia mau tarik jari Angin buat masuk ke analnya, terserah mau diapain juga.
“Just do.”
Nantang emang. Tapi Angin sih gak bisa ngeiyain segampang itu sekarang.
Pelepasan pertamanya baru berlalu beberapa menit, tangannya bergerak untuk membuang sisa-sisa putihnya yang meleber hingga keluar.
“Nnggh.”
Erangan Laska semakin kencang, dia lirik kebelakang buat liat apa yang Angin lakuin.
Anjing.
Pantes, pantes aja. Angin lagi jilatin analnya.
Kakinya makin lemah, dan sekarang seluruh tubuhnya gemeteran gak karuan. Akalnya udah ilang begitu ngerasa lidah itu berusaha masuk, “Ah! Keluar nggak mau–engh!”
“Udah! Angin udah!”
Angin, Angin, Angin. Seribu kali Laska manggil tapi Angin tetep tahan di posisinya, gak mau mundur bahkan semakin maju ngobelin analnya.
Tubuh Laska ambruk begitu putihnya keluar untuk kedua kalinya. Nafasnya terengah, tidak kuat dengan getaran yang Angin berikan pada lubangnya.
Analnya dimakan, yang bener aja.
Dan nyatanya, gilanya Mata Angin gak sampe situ. Angin tatap tubuh Laska yang tengah terbaring lemah, pantatnya sudah tertutup oleh kain rok merah muda itu tapi tonjolan benda sintal itu tentu mampu bikin kontolnya tegak kembali.
Hajar terus.
Ia remat paha Laska kuat, “Sakit sayang?”
Laska masih mengatur nafasnya, tenggorokannya terasa tercekat sewaktu Angin menampar pantatnya begitu kencang.
“Laskara.”
“Nghhh sakit–” sudah dijawab kan? Harusnya Angin puas dan tau diri, bukannya menampar pantat itu lagi sampai tubuh Laska terjengat.
“Kok udah sakit aja? Perut kamu masih kosong ini.” Angin yang dasarnya punya kekuatan super itu tanpa aba-aba membalikkan tubuh Laska agar terlentang, mengungkung nya lagi– di singkirkannya helaian rambut nakal yang menghalangi kecantikan Laskara, matanya menatap pupil mata yang hampir menumpahkan tangis di kecup pelan kedua kelopak mata itu.
“Stop it or–”
“Lagi, lagi Angin.”
Kan. Padahal matanya udah memohon kesakitan tapi mulutnya terus mengucap kata lagi, dan lagi. Lagi sampai dirasa lubangnya bisa muat dua kontol kali ya.
“Are you serious Laskara?”
Pertanyaan Angin tentu omong kosong sebab tangannya sudah merangkak ke bawah meraih batang penis Laska dan sang empu yang langsung menggeliat di bawahnya.
“Anghhh.”
Hilang sudah kewarasan Laska sewaktu tangan Angin mengurat kontolnya begitu lambat; siksa, ini siksaan baginya.
“Cepetin–ah! Cepetin!”
Angin menyeringai di atasnya, “Cepetin gimana sayang?”
“Angh!”
Tubuhnya ia rendahkan guna meraih dua gundukan yang mengeras meminta untuk dilumat. Dadanya dibusungkan seolah ingin lebih dalam di sesap, Angin lagi-lagi hanya bisa tersenyum di balik pekerjaan mengenyotnya.
Cairan putih keluar membasahi jemari Angin, “Jilat.”
Perintahnya dan menodong kelima jarinya di depan mulut Laska, tak bisa menolak Laska menjulurkan lidahnya, melumat satu persatu jemari Angin yang penuh akan cairan putihnya. Matanya juling menggoda, lidahnya lihai naik turun membersihkan noda-noda cantiknya.
“Emhmm.”
“Udah ya?” Di tengah jilatannya Laskara menggeleng.
“Sayang.” Angin memohon, bukan, bukan ia sudah tidak mau. Hanya saja dirinya tidak tega jika harus menggenjot Laska lagi malam ini.
“Kontol kamu masih tegang.”
Sopankah ngomong gitu sambil dorong tubuh Angin buat setelahnya Laska duduk di pangkuannya? Rok merah mudanya menutupi sesuatu yang tengah bersentuhan di bawah sana, penis Laska yang masih terurai lemas karena ejakulasi kedua kalinya, sementara penis Angin yang mengeras karena ingin menyemburkan cairan.
Dilumatnya rakus ranum tebal itu, Angin mundur menjauh dan Laskara yang mendekat mengejar.
Jahat.
“Angin lagi…”
Merengek seperti kucing haus kawin, badannya bergerak naik turun sengaja agar kontolnya menabrak penis Angin yang masih terus tegang minta dikeluarkan.
“Fine, tapi aku mau kamu lakuin sendiri. Bisa?”
Laska hendak menggeleng, tapi tatapan Angin yang menajam membuatnya menciut. Laskara raih penis Angin untuk di bawa ke lubangnya, ia gesekkan pelan mencari ancang-ancang masuk ke dalam lubangnya yang kebas bukan main— jleb.
“Ah!”
Rupanya analnya sedikit longgar hingga penis besar Angin dengan mudah masuk ke dalam, dalam sekali karena posisinya Laska seperti tertusuk dan ini jauh lebih sakit.
“Eunghhhh.”
Laskara mulai bergerak naik turun, meremat pundak Angin begitu tubuh Angin juga ikut bergerak mengikuti tempo lambatnya; lambat tapi begitu menyodok.
“Pinter banget sayang.” Gerakan itu semakin cepat, Laska menahan nafasnya membiarkan Angin bergerak cepat dan masuk, masuk mengoyak analnya yang berkedut kegirangan. Desahan atau bahkan teriakan nama Angin sudah menjadi musik utama yang terdengar di telinga Angin sewaktu sodokannya semakin dalam menghentak lubang itu.
Laska taruh wajahnya pada ceruk leher Angin, mencium wangi sabun lavender miliknya yang kini secara resmi menjadi wangi Anginnya. Angin mengerang saat terasa penisnya membesar di dalam sana— “I love you Laskara–hnng, ahhh!”
Hari ini terhitung enam bulan umur pernikahan mereka, dan enam bulan juga sudah mereka hidup dalam satu bangunan yang sama, ranjang yang satu, tubuh yang selalu tersentuh. Di setiap pagi menjelang malam, dan malam menjelang pagi selalu ada Angin dalam dekapnya.
Kecupan pada dahinya menjadi penutup permainan panas mereka malam ini, tenggorokannya terasa kehilangan pita suara karena ribuan kali berteriak memanggil Angin, tubuhnya kaku tidak karuan saat di bawa untuk tidur dengan keadaan kacau balaunya.
“Tidur yuk? Nanti aku yang bersihin.” Laskara hanya mengangguk dengan rok merah mudanya yang masih melingkar cantik di pinggangnya, ia membawa wajahnya bersandar di dada besar Angin, mencari kehangatan disana.
“I love you Angin.”
“I love you more, more sayangku.”