Angin & Laska
Kalau dipikir-pikir lagi, ucapan Angin juga gak ada salahnya sih. Tapi Laska punya hak buat marah kan?
Gak tau lah.
Pusing dia mikirin Angin yang sekarang kabarnya lagi nangis tersedu sedu di kamar pemuda itu. Laska yang cemburu, dia yang nangis. Ya bagus sih, tapi jujur deh kadang Laska gak suka kalo Angin nangis, KADANG.
Kebanyakan sih suka-suka aja, hehe.
Tadi juga Angin sempet ke rumahnya, tapi dengan tegas Laska ngusir pemuda itu pergi, masih sakit hati dia sama kata-kata Angin. Lagian emang dia nyuruh Angin nyamperin dia? Nggak loh, kalo capek kan, yaudah tinggal istirahat gak usah ngerepotin diri sendiri.
Kesannya kaya nyudutin Laska.
“Aku tuh capek! Mau kamu apasih? Cerita emang sesusah itu? Harus aku yang cari tau sendiri hah, iya?!” Ucapan itu masih kebayang jelas di benaknya.
Gimana Angin ngomongnya sambil nahan tangis, Laska jelas tau itu. Dan dari pada emosi nya meluap akhirnya dia mutusin buat tinggalin Angin sendirian. Depan gerbang rumahnya, dia kunci gerbang itu tanpa peduli sama isakan Angin.
Laska lari masuk ke dalam, nenangin segala pikiran negatifnya, bola matanya teralih saat melihat motor Angin mulai menjauh dari perkarangan rumahnya.
Balik lagi.
Laskara mutusin buat nyusul ke rumah pemuda itu tanpa mengabarinya. Dateng, salim ke Bapak, dan berlari masuk ke kamar Angin.
Di kasur kosong, dan suara keran di kamar mandi jelas jadi penanda kalo Anginnya lagi di dalam sana.
Saat berniat mengetuk pintu– Angin udah keluar dari sana, mukanya merah, hidungnya apalagi. Isakannya suaranya yang pertama keluar begitu mereka bertemu pandang.
Laska melangkah maju, dan Angin yang melangkah mundur, mengalihkan wajahnya ke segala arah agar Laska tidak melihat wajah yang baru saja basah terkena air mata dramatisnya.
Terus, hingga tak terasa dirinya menabrak pintu kamar mandi, dasarnya gampang ketebak begitu Angin mau melangkah masuk lagi ke dalam, buru-buru Laska menghalanginya.
“Kok mau masuk lagi sih?”
Bibir Angin bergetar, di gigitnya pelan sebelum menunduk malu.
“Maaf.”
Yang Laska lihat sih ada setetes air yang terjun ke bawah.
“Cengeng.”
“Iya.. maaf.”
Salah ngomong kah? Sampe suara isakannya justru jadi penghias kamar kebesaran Angin?
“Mau tau gak aku marah kenapa?” Angin mengangguk kecil.
Ah rupanya Angin masih belum tau, dengan helaan nafas panjang Laska bawa dirinya duduk pada ujung ranjang Angin.
“Ngapain masih disitu? Duduk.”
Nurut, kaya anak anjing, ADUH KENAPA JADI LUCU BANGET? Batin Laska ngejerit.
“Kamu masih inget gak sih akun ig kita itu saling nyangkut?”
Angin mengangguk.
“Dan kayanya kamu lebih sering ya log-in akun aku ketimbang akun sendiri, sampe gak nyadar ada orang yang semingguan selalu mention kamu. Mana pake segaka emoji love putih lagi.”
Angin bergerak cepat, menarik tangan Laska untuk di genggam.
“Siapa..?”
“Kath.. gak tau lupa, males juga ngingetnya.” Angin mematung.
“Tapi katanya sih kalo kamu lagi di kantor kamu sama dia manggilnya AKU-KAMU, terus abis dibawain bekel juga kan? Enak gak?”
Semua pertanyaan itu terdengar sangat sarkas di telinga Angin.
“Dia begitu?”
Laska menoleh tajam, “Kamu gak percaya sama aku?”
Salah ngomong.
Angin menggeleng cepat, semakin kuat mengenggam tangan itu.
“Nggak, sayang. Percaya aku percaya.”
Pupil matanya udah mau jatuhin setetes air mata lagi.
“Nangis terus bisanya.”
“Nggak, ini udah gak nangis, udah dihapus.” Angin kucek matanya biar kering walau hasilnya nihil.
“Apaan, itu udah mau netes lagi.”
Angin menggeleng dengan bibirnya yang digigit kuat, menahan isakan dan getaran.
Jika Angin menahan tangis, maka ada Laska yang menahan tawa.
“Kamu tuh bisa gak apa-apa jangan nangis?”
“Bis–”
“Cih! Gak usah boong.”
Laska cuma ngomong sejujurnya aja.
Angin diem lagi, ya bener sih. Mau gimana bentuk masalahnya sama Laska, harus ada sesi tangis menangis.
Sampai gak terasa saat air mata itu akhirnya jatuh (lagi), Laska menghela nafas dan tatapannya berubah melembut menghapus jejak air mata itu, menyisir rambut Angin.
“Masih mau nangis?” Angin hanya diam, tapi isakan yang berhasil lolos seakan menjadi jawaban.
Iya, masih.
“Cup, cup, cup.” Laska beranjak dari duduknya, berdiri di depan Angin menyelip di tengah-tengah kaki pemuda itu, agar lebih mudah untuk mendekapnya.
“Maafin aku, aku gak tau kalo Kak Kath kaya gitu.”
“Kalo dia punya niat jadi orang ketiga di antara kita, kamu masih anggep dia baik?”
Angin menggeleng, semakin menekan wajahnya pada perut Laska.
“Jaga jarak, aku gak suka.” Angin mengangguk cepat.
Siap menuruti apapun permintaan Laska-nya.
“Udahan belum nangisnya?”
Menggeleng.
“Aku udah gak mau nangis, tapi airnya keluar terus.. kamu gak suk–” Alesannya gak pernah berubah.
“Gak, keluarin semuanya.” Tak bisa mengelak, Angin lagi-lagi hanya pasrah.
Menumpahkan segala tangis dan rasa sesaknya, bahkan pemuda itu sudah beberapa kali menggigit kaos Laska karena merasa menyesal atas perkataannya.
Merasa bahwa sesi ini akan membuang waktu begitu banyak, Laska putuskan untuk duduk di pangkuan Angin. Kini, wajah Angin sudah berada di ceruk lehernya, “Cengeng.”
“Sama aku terus Ka.”
“Gak mau janji.”
Tidak ada dua detik Angin langsung mengangkat wajahnya, alisnya mengkerut tidak suka, bibirnya maju cemberut.
“Ya kan bisa aja kita gak jo– eh! Angin!”
Tubuhnya yang sejak tadi berada nyaman dipangkuan kini semakin naik sewaktu Angin berdiri. Menggendongnya.
“Ngomongnya gak usah jelek kaya gitu, gak suka.”
“Ya persiapan aja.”
“Kaaaa!”
Laska terkekeh, berhubung sedang di gendong seperti bayi koala ia manfaatkan dengan mendengus pada area leher Angin. Sesekali ia juga mengecup pipinya pelan.
Sayang kalau dilewatkan.
“Jangan ngomong gitu lagi Ka.”
“Iya bawel!”